Aku jatuh cinta. Aku jatuh cinta pada dia yang sangat mengagumiku. Aku jatuh cinta padanya yang menganggapku istimewa, pada dia yg memujaku bagai dewa. Kutanya : mengapa kau begitu menyukaiku?
"Apa kau gila?", katanya sambil menyentuh tanganku. Mengusap jemariku perlahan dan hati-hati. Seolah yang sedang digenggamnya bukanlan ibu jari, telunjuk, jari tengah, jari manis dan kelingking, melainkan berlian murni yang baru ditambang.
"Tangan ini teman, tanganmu ini adalah tangan Tuhan. Di setiap jarimu disematkan satu malaikan penjaga. Mereka menjaga jemari agar tidak tergores, tidak keseleo, menjagamu agar terus bisa memegang pensil dan alat lukis itu dengan baik. Dan kau bisa menciptakan gambar-gambar terindah. Kau menciptakan lukisan dari tangan Tuhan, teman."
Showing posts with label kie no monogatari. Show all posts
Showing posts with label kie no monogatari. Show all posts
Wednesday, October 12, 2016
Tuesday, January 26, 2016
Sometimes, just sometimes..
Sometimes I think that I already have my perfect comfort live in my country -of course it's about my city Surabaya- before. I have beautiful family, I have a lovely cute love, I have an amazingly fun job, I did my hobbies perfectly -cosplay, draw, read-, I have a lot of time just to fulfill my laziness in bed, I have amazing perfect community just like family.. I already have all I need..
That's my comfort zone. I'm not found it, I build it. I'm set that happiness in my frame piece by piece.. That's not easy of course, take years for make that perfect zone to living.. I've done extremely good for this line up..
So I started to confuse, after what I've done, why I'm here now.. Why I must struggling here while I have that perfectly comfort live at that far away land.. Why?
And I know, it's all Because I'm human. There's no eternal thing in human life. And human need to moving for stay alive. That's bullshit when people say "I stop now, this is my last journey". Just wait until they know they have drowned. (It's okay if you don't agree with me, it's your business.) And I think maybe if I late to moved before, that's "perfect comfort live" will be "perfect bored and what should I do live". It will be too boring to continue but too scared to leave, too fear to live without. If I have drowned at that fear, my past years will become a zero, nothing.
I want to have an amazing comfort live forever. I want that comfort zone, stay to be my comfort zone. Although I must to move it, although I must leave it, but I'll keep that perfect comfort zone in my head, it will be stay forever in my heart, in my memories. And you know, we just can found eternalness in memories. Keep, in my heart, forever.
So I choose this side. I choose to move. I choose to leave. And here I am. With a brand new life. I will starting to build my another comfort zone again. It will take a years too like my last one. But, It will be as amazing as before. It will be as fun as before. Just grade up the level, grade up the pain. And I will make the best again. Enjoy the process. Stay alive.
Akar - Biru
Bodhi menatap biru. Laut
yang menganga.
“Aku menebarkan abumu
di lautan tiga tahun lalu. Kamu seharusnya sudah mati Kell.”
Kell yang sejak tadi duduk
disampingnya tertawa. “Kita memiliki pemahaman yang berbeda tentang kematian
Bodhi. Aku memang mati, tetapi tidak.”
“Bisa jelaskan dengan lebih manusiawi Kell?”
Kell tertawa lagi. “Ini
tentang dimensi, Bodhi. Dan kamu seharusnya nggak disini, tugasmu belum
selesai.”
“Kata-katamu semakin
terbang, Kell. Aku sama sekali nggak ngerti.”
“Ada pengetahuan yang
tidak akan dipahami meski sudah dijelaskan. Pengetahuan akan datang sendiri
saat waktu sudah memilih.”
Bodhi diam, dia tahu
tidak akan bisa memaksa Kell menjawab pertanyaannya. Dia memilih untuk menikmati
biru dan waktu bersama sahabatnya.
“Aku tidak habis pikir,
kenapa manusia bisa sangat takut untuk pergi dari sana. Mereka lebih memilih
mati-matian untuk hidup, padahal hidup mereka seperti mati. And that’s your job Bodhi, to make them
alive. Hidup yang sebenarnya.”
Bodhi ingin menimpali
saat melihat kilasan senyum Kell. Tiba-tiba ada yang mengetuk angkasa, biru
menjadi buram. Dalam satu kedipan, yang
terlihat adalah jam weker, kamar kos yang tidak asing. Mimpi.
Kembali dalam realita,
Bodhi terdiam. Sedangkan di realita yang berbeda Kell duduk menatap laut. Dalam
lingkaran waktu yang sama kedua sahabat itu tersenyum.
Terima
kasih telah mengunjungiku.
Tuesday, November 6, 2012
CAPPUCINO
Sambil menyeruput Cappucino yang masih hangat, dia memasang headphone di telinganya. Sheila on 7 – Anugrah Terindah Yang Pernah Kumiliki. Lagu yang cukup lama memang, tapi tetap favorit baginya. Sama seperti Cappucino yang tidak bisa digantikan dengan kopi – kopi lain. Seperti seorang pria yang tidak bisa diimbangi dengan seluruh pria di muka bumi.
Sembari mendengar lagu itu, lamunannya berlari ke lima tahun yang lalu, saat pertama kali bertemu pria itu. Seorang pria dengan tampangnya yang biasa, tapi memiliki senyum renyah yang seperti magnet baginya. Kedekatan mereka berdua diawali dengan mengambil buku yang sama di sebuah toko buku. Dia kembali menyesap Cappucino hangatnya, lalu tersenyum, tak habis pikir dengan takdir konyol yang mempertemukan mereka.
Masih menunggu pria itu, dia kembali berjalan cepat ke empat tahun yang lalu. Saat pria itu dengan gugupnya meminta seluruh hatinya. Dia selalu menikmati kegugupan pria itu saat tangan mereka tidak sengaja bersentuhan, dia selalu menikmati tatapan yang dipenuhi oleh cinta dari pria itu, dan dia sangat menikmati wajah pria itu saat kata cinta terucap dari mulutnya. Saat pria itu berkata tentangnya, tentang debarannya, tentang cintanya. Walau dadanya penuh, dengan sekuat tenaga dia berkata “Iya” dengan ringan sambil menyeruput Cappucino pesannya. Belaian pertama yang dia terima tidak pernah dia lupakan. “Terima kasih” kata pria itu. Cappucino manis itu menjadi saksi bisu menyatunya hati mereka. Sejak saat itu, dia sangat menyukai Cappucino.
Air matanya tidak sempat menetes karena langsung dia usap dengan tisu yang sudah disediakan di meja. Hatinya penuh dengan kenangan indah dengannya. Tapi pria yang dia tunggu belum juga datang, kebiasaan lama, selalu terlambat. Cappucinonya tinggal setengah, dengan menyesapnya perlahan dia menatap jam. Pria itu selalu terlambat, dan dia selalu menikmati saat melihat wajah pria itu yang tergopoh – gopoh berlari menuju mejanya. Dengan senyum renyahnya yang seperti biasa dan kedua telapak tangan yang ditangkupkan.
“Maaaf, jalanan macet…”
“Cappucinoku sudah mau habis…”
“Maaf… Maaaf banget… aku pesankan Cappucino lagi..”
Melihat pria itu berlari menuju kasir untuk memesan Cappucino bukan hal yang baru untuknya, tapi setiap langkah pria itu yang membawa secangkir Cappucino untuknya selalu membuat dadanya penuh. Menghapuskan ambisinya tentang jengjang karir dan segala tetek bengek materi hidup.
“Jadi, kamu mau cerita tentang apa?”, pria itu memamerkan senyum renyahnya lagi.
“Tidak… tidak ada… “
Lagi – lagi pria itu tersenyum, tak lama membelai lembut rambut perempuan yang dadanya sudah dipenuhi oleh cinta di depannya. Mereka hanya saling menatap, ada komunikasi dalam tatapan mereka. Mereka menyadari bahwa masing – masing dari mereka adalah sebuah anugrah terindah yang diberikan Tuhan. Rasa syukur di benak pria itu hampir saja membuatnya lupa tentang Cincin yang menjadi penyebabnya terlambat tadi.
“Hei, aku yang mau bicara….”, kata pria itu, mulai gugup.
Labels:
Ai No Sekai,
kie no monogatari
Saturday, November 6, 2010
Beautiful Memories. Monogatari DAI 2 KA.
Akhirnya dengan sebuah keajaiban perpustakaan aku dan Kie pacaran. Saat ini di dalam dadaku sedang meluap – luap kebahagiaan. Bel istirahat siang berbunyi, aku menatap ke bangku sebelah tempat Kie duduk. Aku masih gugup kalau bicara dengannya. Sambil memperlihatkan bekal makanan aku mulai bicara.
“Makan…”, bodohnya hanya itu yang bisa kukatakan. Padahal jika bisa aku ingin katakan “Ayo kita makan siang di sarang cinta kita.” Atau kata – kata lain yang lebih romantis.
“He eh.. di taman ya…”, Kie mengatakannya dengan senyum manisnya. Membuatku kalah telak.
Kami makan siang ditaman sekolah. Dekat lapangan baseball. Aku tidak pernah berani memulai pembicaraan. Jadi selalu Kie yang mulai berbicara.
“Aku baru tahu…”
“Apa?”
“Ternyata Ryosuke orangnya pemalu…”, dia tersenyum. Aku mulai salting.
“Eh… bukannya pemalu…”
“Kalau tahu gitu harusnya dari dulu aja aku langsung nembak… jadi aku nggak perlu mikir yang aneh – aneh deh…”
“Aneh – aneh?”
“Ya, aku mikirnya ryosuke bener – bener benci sama aku. Sampai – sampai liat mukaku aja nggak mau. Gara – gara itu aku sempet mikir harusnya aku nggak pindah kesini…”, aku benar – benar merasa bersalah.
“Maaf… aku… nggak tahu kenapa… nggak bisa ngomong sama orang yang aku…. Aku suka…”
“Hihi… nggak apa – apa kog. Justru Ryosuke yang kayak gitu aku suka banget.”
Wajahku kembali memerah. Lebih merah dari kepiting rebus. Mungkin ini namanya saat – saat bahagia sepasang kekasih. Saat sedang enak – enaknya berduaan, tiba – tiba keito datang dan segerombolan anak - anak lain dibelakangnya.
“Ryosuke, ini Yamada. Dia yang mau masuk ekskul musik kita…”
Dasar pengganggu masa – masa indah sepasang kekasih. Kupelototi Keito. Keito kaget, berpikir selama dua detik menatap Kie dan mengerti. “Gomen” katanya pelan. Saking pelannya sampai hanya aku yang bisa mendengarnya.
“Eh, ekskul musik? Emang di sekolah kita da ekskul musik?”, Tanya Kie padaku.
“Sebenernya belum, aku dan adik kelasku ini mau membentukknya. Tapi untuk membuat ekskul paling nggak dibutuhin 10 orang. Tapi kita cuman punya empat anggota. Ini kita masih cari satu orang lagi.”
“Wah keren, gimana kalo aku aja yang jadi anggotanya. Yah emang sih aku nggak gitu bisa main musik. Anggap aja jadi pelengkap buat bikin ekskul.”
“Beneran kamu mau?”
“He em… boleh?”
“Tentu aja… akhirnya aku bisa bentuk grup musik sendiri…”
Aku, keito dan gerombo;an anak dibelakangnya kegirangan. Kami segera membentuk surat permohonan pembentukan ekskul. Dan kami berlima menghadap wakasek Hyun Joong. Dengan mudahnya permintaan kami diterima. Aku benar – benar bahagia, dan kuharap kebahagiaanku bersama teman – teman dan Kie terus berlanjut.
***
Saat itu hari Minggu, aku dan kie merencanakan kencan pertama kami. Aku menjemputnya dengan motorku di depan rumahnya. Tak lama dia keluar. Kie terlihat sangat manis. Memakai celana tiga per empat dan sepatu kets. Kaos birunya ditutupin dengan blazer rajutan putih yang tebal. Memang cuaca kali ini cukup dingin. Kami berpandangan dan diam sejenak. Lagi – lagi dia memulai pembicaraan.
“enaknya kita kemana?”
“Ehm… gimana kalo laut?”
“Oke, laut musim dingin. Unik juga he he…”
Kami bersepeda motor ke laut. Di perjalanan kami hanya diam. Sampai lagi – lagi, dia memulai pembicaraan.
“Aku baru tahu kalau Ryosuke bisa naik motor.. biasanya di sekolah naek sepeda sih…”
“Yah, sekolah sama rumahkan deket. Jadi aku pikir nggak perlu naek motor.”
“He he… nanti ajarin aku naik motor yah…”
“Boleh..”
Kudengar dia tersenyum. Tak lama setelah itu dia mempererat pelukannya di belakangku. Kuharap dia tidak merasakan degupan jantungku yang seperti bom siap meledak ini. Kurasakan tubuh lembutnya di punggungku, membuatku makin bedebar - debar. Lima belas menit perjalanan, kami sampai di laut. Angin berhembus kencang.
“Wah kalau musim dingin laut sepi banget yah… Padahal kalau musim panas rame banget.”
“Yah, emang Cuma Ryosuke yang mau ke laut dingin – dingin kayak gini.”
Kami saling bertatapn dan tersenyum. Kie melangkahkan satu kakinya untuk lebih mendekat padaku. Dia mendekatkan kepalanya ke kepalaku. Apa ini? Apa dia ingin aku menciumnya? Jantungku berdegup kencang. Aku takut suara jantungku ini sampai terdengar di telinganya. Aku terdiam, membuat Kie menunggu cukup lama. Akhirnya Kie berhenti mentapku dan melihat ke arah laut. Dia terlihat kecewa.
“Ryosuke? Gimana perasaanmu ke aku?” dia mengucapkannya pelan.
“eh… aku… cin… cin…”
“Cin? Apa?”, Kie menatapku lagi antusias. Berharap. Jantungku semakin berdegup kencang. Dan aku mulai gugup lagi.
“Cin… Cin… Cinderella itu kasian banget yah… dia disiksa sama kakak – kakaknya…”
Kie terlihat syok. Kecewa. Lalu mengambil nafas panjang, dan kembali manatap laut. Aaargghh… kenapa sih aku tidak pernah bisa mengatakan sesuatu yang sangat penting. Aku bahkan tidak berani menciumnya.
Setelah itu kami hanya ngobrol di pantai. Sesekali kami memainkan pasir pantai untuk dibuat seperti istana. Tapi selalu gagal. Dua jam kami di pantai. Dan kami memutuskan untuk pulang. Pada saat kami jalan menuju motor tiba – tiba Kie menarik tanganku.
“Ryosuke.. cium aku…”
Aku diam, kaget, tidak bisa bergerak. Kie memintaku langsung untuk menciumnya. Sekarang jantungku sudah benar – benar ingin pecah. Cukup lama aku diam, tidak berani bergerak. Aku hanya menatapnya. Apa dia benar – benar ingin aku menciumnya? Hatiku belum siap. Mencium cewek yang benar – benar aku sukai, entah apa yang akan kulakukan selanjutnya.
“ Sudahlah…”, Kie melepaskan tangannya padaku.
Terlihat sangat kecewa. Berjalan di depanku. Aku benar – benar merasa bersalah. Aku ingin memelukknya, tapi aku tidak punya cukup keberanian untuk itu. Sesampainya di motorku, dia membalik punggungnya dan kembali tersenyum. Senyuman yang sangat manis.
“Ajari aku naik motor..”
“Oke…”
Dia duduk di depan sedang aku di belakang. Aku menstaterkan motorku..
“Yang sebelah kanan itu buat gas… coba putar pelan – pelan…”
Kie memutar gasnya pelan. Dan motorpun berjalan pelan. Sepuluh meter pertama dia menyetir dengan lancar. Kie terlihat sangat senang, dan akupun lega dia tidak sedih lagi. Aku berjanji pasti akan kukatakan “ Aku Cinta kamu” dan menciumnya. Tapi aku harus latihan dulu. Membayangkannya saja membuatku berdebar - debar membuatku semakin mempererat pelukanku padanya.
Kami berjalan pelan dan di pinggir. Di depan kami ada tikungan. Kukatakan padanya untuk pelan – pelan membelokkan stirnya. Dengan pelan dan hati – hati Kie membelokkan stirnya. Tapi tanpa kami sadari di sisi jalan yang lain ada truk yang sedang melaju cepat. Kie sangat kaget karena truk itu, sehingga keseimbangannya oleng. Motor ini tiba – tiba berbelok ketengah. Dan kejadian itu terjadi sangat cepat. Truk itu menabrak motor kami. Aku terjatuh ke samping motor dan Kie terpental ke depan truk dan jatuh mengenai pinggiran jalan.
Kesadaranku masih ada, truk yang menabrak kami berhenti sebentar. Supirnya melihat ke arah Kie dan tiba – tiba dia melajukan kembali truknya. Aku langsung merangkak menuju Kie. Disitu kulihat darah di mana- mana. Darah keluar dari setiap luka di tubuhnya. Aku terdiam. Tidak bisa bergerak. Kurasakan otakku kelu melihatnya. Kupanggil dia berkali – kali, tapi dia tidak menjawab.kusentuh kepalanya yang tertutup rambut, dan kulihat tanganku basah dengan cairan kental merah. Kepalanya luka. Darah terus keluar. Tanganku gemetar. Seluruh tubuhku mengejang. Aku melihat kanan dan kiri tapi tidak ada siapa – siapa. Aku mencari tasku.. tanpa mempedulikan bunyi “krak” dikakiku aku beruasaha secepat mungkin merogoh tasku dan mengambil handphone. Kutelpon nomor pertama yang bisa ku telpon. Di sebrang sana Keito menjawab.
“Halo… ada apa Ryosuke, kau sedang kencankan hari ini?”
“Kie… Kie… ku… kumohon… selamatkan… kembalikan dia…ku… kumohon…”, rintihku gemetaran hampir tak terdengar.
"Ryosuke… Ryosuke ada apa…. apa yang terjadi?”
***
Sudah satu bulan sejak kejadian itu. Kie tidak bisa di selamatkan. Dia kehilangan banyak darah sehingga meninggal di ambulans saat perjalanan kami menuju rumah sakit. Tapi aku tahu itu bohong. Aku sama sekali tidak percaya akan hal itu. Aku tahu dia masih ada di sampingku. Mungkin dia marah karena aku tidak bisamengucapkan “Aku cinta kamu” atau dia ngambek karena aku hanya diam waktu dia minta aku menciumnya.
Aku tahu sekarang dia sedang bersembunyi menungguku untuk menyerah. Dan dia akan tersenyum manis lagi sambil berkata “Tuh kan… nggak bisa kalo nggak ada aku. Makanya cium donk…” Dan pasti aku akan langsung menciumnya atau apapun yang dia inginkan.
Karena itu Kie, kumohon… aku sudah menyerah… aku benar – benar tidak bisa tanpamu. Kembalilah dan tersenyum lagi padaku.
Aku terus menunggunya. Setiap hari di kelas aku terus melihat ke arah sampingku. Di meja yang kosong itu di letakkan vas bunga dan bunga krisan. Aku selalu kesal kalau anak – anak melakukan hal itu. Aku selalu mengambil vas itu dan membuangnya. Apa mereka tidak sadar, kalau Kie datang dan melihat itu semua dia akan kecewa. Aku benar – benar tidak ingin melihatnya kecewa untuk kesekian kalinya.
Anak – anak di kelas sangat keras kepala. Mereka benar – benar berfikir kalau Kie sudah mati, bahkan Keito yang mengerti akupun memaksaku untuk menerima. Menerima apa? Kie tidak pergi? Dia akan kembali…
Aku kesal pada anak – anak dan memutuskan untuk tidak mau sekolah. Biar kutunggu saja Kie di rumah. Dia pasti akan datang kerumah dan tersenyum manis seperti biasa lagi.
Sesekali Keito, dan anak - anak klub musik datang ke rumah. Mereka terus mengatakan tentang grup musik atau apalah itu. aku tidak peduli. Saat ini aku hanya ingin menunggu Kie dan aku akan terus menunggunya.
Tak lama setelah itu, aku benar – benar bosan dirumah. Mungkin Kie lupa alamat rumahku. Jadi aku memutuskan untuk datang kerumahnya. Sesampai dirumahnya, di depan rumah itu ada seorang ibu yang sedang menyiram tanaman. Dia menatapku…
“Kau... jangan – jangan kamu Ryosuke ya..?”
Lalu dia mengajakku masuk. Dia pergi sebentar dan kembali dengan membawa sebuah buku di tangannya.
“Ini, waktu tante bersih – bersih kamar Kie, tante menemukan ini di bawah tempat tidurnya. Tante rasa lebih baik kamu yang membawanya. Kamu Ryosuke pacarnya Kie, kan? Tante mohon maaf atas segala kesalahan Kie… tolong ikhlaskan dia.. biar anak tante bisa tenang di atas sana…”
Lagi – lagi orang ini mengatakan hal tidak jelas. Sudah kubilang Kie belum mati. Aku memutuskan untuk pergi dari rumahnya. Dan berlari menuju menuju sekolah. Saat itu sekolah sudah kosong, berarti ini hari Minggu atau entah hari libur apa ini. Hari - hariku sebulan ini terasa begitu sama tanpa Kie. Tapi aku berhasil memasuki sekolah itu, aku memanjat pagar dan merusak engsel pintu dengan batu yang kutemukan dibawah pohon tempat dimana aku dan Kie selalu makan siang bersama. Aku merasa mual melihat pohon itu. Aku naik ke lantai paling atas dan menuju perpustakaan. Kuingat kembali saat dia menyatakan perasaannya sambil menangis. Tiba – tiba air mataku jatuh.
“Kie… Kie… dimana kamu… Kie.. Kumohon.. KIE JANGAN SEMBUNYI…”
Aku mencarinya di setiap sudut perpustakaan. Aku takut. Pusing. Otakku tarasa ditekan. Aku tidak mau menerima apa yang terjadi. Aku tidak mau kehilangan Kie. Sungguh aku tahu ini tidak nyata, ini hanya mimpi. Mungkin aku harus mencubit pipiku untuk menyadarkanku dari mimpi. Tapi itu tidak cukup sakit, rasa sakit di sekujur di dada dan otakku ini terasa begitu nyata. Aku harus menemukan sesuatu yang lebih sakit dari sekedar cubitan di pipi.
Aku terhenti saat aku menemukan jendela di pojok ruangan. Apakah jika aku lompat dari lantai lima ini aku akan menemukannya. Mungkin aku bisa tersadar dan bangun dengan itu, atau mungkin aku bisa menyusulnya jika ini benar - benar terjadi. Perlahan kulangkahkan kakiku. Kurasakan kakiku gemetaran, tapi aku terus melangkah. Yang kuinginkan hanyalah bertemu dengan Kie. Sampai di depan jendela, aku membuka jendela itu. aku mulai menaikkan kaki kananku ke jendela itu dengan perlahan. Kurasakan debaran jantungku yang semakin cepat, kurasakan pula perasaan lega saat dimana aku akan mengakhiri penderitaan ini dan bertemu dengan Kie. Tetapi tiba – tiba angin berhembus sangat kencang… aku terdorong jatuh di lantai. Buku yang kepegang tadi juga terjatuh dan terbuka. Disitu ada selembar fotoku.
Aku menatap buku itu, kulihat fotoku yang difoto bersama anak – anak awal kelas tiga. Hari pertama Kie masuk. Foto itu sengaja dipotong hanya bagianku saja yang diletakkan di sela - sela bukunya. Aku membaca tulisan tangan Kie di buku itu.
Hari pertama masuk, deg degan banget... tapi ada yang menarik perhatianku. Dia duduk disebelahku. Senyumannya manis banget..
Aku membalik lembar berikutnya…
Kenapa sih dia jutek banget. Padahal kalo sama yang lain dia bisa senyum manis banget... kalo sama aku…
Aku membalik lagi berkali – kali…
Hari ini indah banget... aku beraniin diri bilang suka ke Ryosuke. tahu – tahu aku langsung dipeluk. Saking senengnya aku sampe nangis dipelukannya... malu banget...tapi seneng... apa lagi pertama kalinya dia senyum sama aku. Manis banget. Aku selalu pingin lihat senyumannya untukku itu..
Air mataku menetes... kuingat lagi saat itu… Aku masih ingat setiap sudut perpustakaan ini saat memelukknya.. Aku bahkan masih merasakan hangatnya pelukan Kie saat itu.. aku membalikkan lembarannya…
Aku nggak tahu gimana perasaan Ryosuke yang sebenarnya ke aku. Dia nggak pernah bilnga suka atau cinta.. emang sih kita kayak pacaran.. tapi nggak apa – apa deh.. asal dia senyum terus ke aku.. senyumannya yang bagai malaikat...
Aku cinta kamu… aku cinta banget sama kamu… aku cinta kamu lebih dari apapun di dunia ini… kumohon… kembalilah… aku menangis.. terus menangis.. aku semakin membulatkan tekadku untuk menyusulnya… untuk mengatakan perasaanku padanya… dan hal yang sama terjadi lagi, saat aku akan menuju jendela itu angin berhembus lagi… kali ini terasa lebih kuat dan hangat, entah angin hangat apa di bulan November ini.. karena angin itu lembaran itupun terbuka dengan sendirinya... beberapa kali lembaran itu berbalik, seakan - akan memilih satu lembar khusus... saat lembaran itu berhenti, tepat saat angin itu menipis.. aku membaca lembaran buku yang terbuka itu…
Aku paling suka senyumanmu Ryosuke. Kamu emang nggak pernah bilang cinta sama aku. Tapi aku percaya sama kamu. Aku percaya sama perasaanmu saat ini. aku percaya bahwa perasaanmu dan perasaanku saat ini nyata. Aku percaya bahwa hubungan indah kita ini nyata. Besok kencan pertama kita. Aku harap kamu bisa bilang “Aku Cinta Kamu” ke aku. Juga ngasih ciuman pertama buat aku.. tapi kalo kamu masih malu nggak apa – apa kog... asal kamu terus senyum, aku mau nunggu kamu seberapa lamapun.. asal kamu terus senyum sama tertawa.. aku rela mati.. aku rela mati demi senyuman dan kebahagiaanmu.. Sungguh... makanya aku pingin liat senyummu terus... tawamu terus.. kebahagiaanmua.. yah walo terlalu dini buat mikirin masa depan. Walopun suatu saat Ryosuke nggak sama aku, dan memilih gadis lain. tapi asal kamu terus tersenyum aku senang.. tersenyumlah.. ayo kita bahagia bersama..
Aku tidak bisa membendung air mataku. Aku tahu apa maksud semua ini. Aku tahu apa yang kamu inginin Kie. Air mataku terus membanjiri pipi dan mulai membasahi pakaianku. Mataku terasa ngilu karena terlalu banyak menangis, tapi air mata ini tidak bisa berhenti. Dadaku sesak menahan isak. Otakku terasa kelu merasakan kesedihan ini.
“Kenapa… kenapa kamu pergi begitu cepat… setidaknya, beri aku waktu untuk katakan `Aku Cinta Kamu` `Aku Sayang Kamu` `Aku menginkanmu Disisiku`… atau kasih aku waktu buat cium kamu.. atau apapun yang kamu inginin.. Kie.. Kie.. Kie... kenapa.. kenapa…”
Aku tidak bisa melanjutkan kata – kataku. Tenggorokanku tersendat karena isak tangisku. Aku tahu Kie kamu ingin aku tertawa. Aku janji setelah ini aku akan tertawa dan terus tertawa seperti yang kamu pinta. Tapi kali ini saja. Biarkan aku menangis. Kali ini aja. Aku benar – benar ingin menangis… kali ini saja…
***
“Makan…”, bodohnya hanya itu yang bisa kukatakan. Padahal jika bisa aku ingin katakan “Ayo kita makan siang di sarang cinta kita.” Atau kata – kata lain yang lebih romantis.
“He eh.. di taman ya…”, Kie mengatakannya dengan senyum manisnya. Membuatku kalah telak.
Kami makan siang ditaman sekolah. Dekat lapangan baseball. Aku tidak pernah berani memulai pembicaraan. Jadi selalu Kie yang mulai berbicara.
“Aku baru tahu…”
“Apa?”
“Ternyata Ryosuke orangnya pemalu…”, dia tersenyum. Aku mulai salting.
“Eh… bukannya pemalu…”
“Kalau tahu gitu harusnya dari dulu aja aku langsung nembak… jadi aku nggak perlu mikir yang aneh – aneh deh…”
“Aneh – aneh?”
“Ya, aku mikirnya ryosuke bener – bener benci sama aku. Sampai – sampai liat mukaku aja nggak mau. Gara – gara itu aku sempet mikir harusnya aku nggak pindah kesini…”, aku benar – benar merasa bersalah.
“Maaf… aku… nggak tahu kenapa… nggak bisa ngomong sama orang yang aku…. Aku suka…”
“Hihi… nggak apa – apa kog. Justru Ryosuke yang kayak gitu aku suka banget.”
Wajahku kembali memerah. Lebih merah dari kepiting rebus. Mungkin ini namanya saat – saat bahagia sepasang kekasih. Saat sedang enak – enaknya berduaan, tiba – tiba keito datang dan segerombolan anak - anak lain dibelakangnya.
“Ryosuke, ini Yamada. Dia yang mau masuk ekskul musik kita…”
Dasar pengganggu masa – masa indah sepasang kekasih. Kupelototi Keito. Keito kaget, berpikir selama dua detik menatap Kie dan mengerti. “Gomen” katanya pelan. Saking pelannya sampai hanya aku yang bisa mendengarnya.
“Eh, ekskul musik? Emang di sekolah kita da ekskul musik?”, Tanya Kie padaku.
“Sebenernya belum, aku dan adik kelasku ini mau membentukknya. Tapi untuk membuat ekskul paling nggak dibutuhin 10 orang. Tapi kita cuman punya empat anggota. Ini kita masih cari satu orang lagi.”
“Wah keren, gimana kalo aku aja yang jadi anggotanya. Yah emang sih aku nggak gitu bisa main musik. Anggap aja jadi pelengkap buat bikin ekskul.”
“Beneran kamu mau?”
“He em… boleh?”
“Tentu aja… akhirnya aku bisa bentuk grup musik sendiri…”
Aku, keito dan gerombo;an anak dibelakangnya kegirangan. Kami segera membentuk surat permohonan pembentukan ekskul. Dan kami berlima menghadap wakasek Hyun Joong. Dengan mudahnya permintaan kami diterima. Aku benar – benar bahagia, dan kuharap kebahagiaanku bersama teman – teman dan Kie terus berlanjut.
***
Saat itu hari Minggu, aku dan kie merencanakan kencan pertama kami. Aku menjemputnya dengan motorku di depan rumahnya. Tak lama dia keluar. Kie terlihat sangat manis. Memakai celana tiga per empat dan sepatu kets. Kaos birunya ditutupin dengan blazer rajutan putih yang tebal. Memang cuaca kali ini cukup dingin. Kami berpandangan dan diam sejenak. Lagi – lagi dia memulai pembicaraan.
“enaknya kita kemana?”
“Ehm… gimana kalo laut?”
“Oke, laut musim dingin. Unik juga he he…”
Kami bersepeda motor ke laut. Di perjalanan kami hanya diam. Sampai lagi – lagi, dia memulai pembicaraan.
“Aku baru tahu kalau Ryosuke bisa naik motor.. biasanya di sekolah naek sepeda sih…”
“Yah, sekolah sama rumahkan deket. Jadi aku pikir nggak perlu naek motor.”
“He he… nanti ajarin aku naik motor yah…”
“Boleh..”
Kudengar dia tersenyum. Tak lama setelah itu dia mempererat pelukannya di belakangku. Kuharap dia tidak merasakan degupan jantungku yang seperti bom siap meledak ini. Kurasakan tubuh lembutnya di punggungku, membuatku makin bedebar - debar. Lima belas menit perjalanan, kami sampai di laut. Angin berhembus kencang.
“Wah kalau musim dingin laut sepi banget yah… Padahal kalau musim panas rame banget.”
“Yah, emang Cuma Ryosuke yang mau ke laut dingin – dingin kayak gini.”
Kami saling bertatapn dan tersenyum. Kie melangkahkan satu kakinya untuk lebih mendekat padaku. Dia mendekatkan kepalanya ke kepalaku. Apa ini? Apa dia ingin aku menciumnya? Jantungku berdegup kencang. Aku takut suara jantungku ini sampai terdengar di telinganya. Aku terdiam, membuat Kie menunggu cukup lama. Akhirnya Kie berhenti mentapku dan melihat ke arah laut. Dia terlihat kecewa.
“Ryosuke? Gimana perasaanmu ke aku?” dia mengucapkannya pelan.
“eh… aku… cin… cin…”
“Cin? Apa?”, Kie menatapku lagi antusias. Berharap. Jantungku semakin berdegup kencang. Dan aku mulai gugup lagi.
“Cin… Cin… Cinderella itu kasian banget yah… dia disiksa sama kakak – kakaknya…”
Kie terlihat syok. Kecewa. Lalu mengambil nafas panjang, dan kembali manatap laut. Aaargghh… kenapa sih aku tidak pernah bisa mengatakan sesuatu yang sangat penting. Aku bahkan tidak berani menciumnya.
Setelah itu kami hanya ngobrol di pantai. Sesekali kami memainkan pasir pantai untuk dibuat seperti istana. Tapi selalu gagal. Dua jam kami di pantai. Dan kami memutuskan untuk pulang. Pada saat kami jalan menuju motor tiba – tiba Kie menarik tanganku.
“Ryosuke.. cium aku…”
Aku diam, kaget, tidak bisa bergerak. Kie memintaku langsung untuk menciumnya. Sekarang jantungku sudah benar – benar ingin pecah. Cukup lama aku diam, tidak berani bergerak. Aku hanya menatapnya. Apa dia benar – benar ingin aku menciumnya? Hatiku belum siap. Mencium cewek yang benar – benar aku sukai, entah apa yang akan kulakukan selanjutnya.
“ Sudahlah…”, Kie melepaskan tangannya padaku.
Terlihat sangat kecewa. Berjalan di depanku. Aku benar – benar merasa bersalah. Aku ingin memelukknya, tapi aku tidak punya cukup keberanian untuk itu. Sesampainya di motorku, dia membalik punggungnya dan kembali tersenyum. Senyuman yang sangat manis.
“Ajari aku naik motor..”
“Oke…”
Dia duduk di depan sedang aku di belakang. Aku menstaterkan motorku..
“Yang sebelah kanan itu buat gas… coba putar pelan – pelan…”
Kie memutar gasnya pelan. Dan motorpun berjalan pelan. Sepuluh meter pertama dia menyetir dengan lancar. Kie terlihat sangat senang, dan akupun lega dia tidak sedih lagi. Aku berjanji pasti akan kukatakan “ Aku Cinta kamu” dan menciumnya. Tapi aku harus latihan dulu. Membayangkannya saja membuatku berdebar - debar membuatku semakin mempererat pelukanku padanya.
Kami berjalan pelan dan di pinggir. Di depan kami ada tikungan. Kukatakan padanya untuk pelan – pelan membelokkan stirnya. Dengan pelan dan hati – hati Kie membelokkan stirnya. Tapi tanpa kami sadari di sisi jalan yang lain ada truk yang sedang melaju cepat. Kie sangat kaget karena truk itu, sehingga keseimbangannya oleng. Motor ini tiba – tiba berbelok ketengah. Dan kejadian itu terjadi sangat cepat. Truk itu menabrak motor kami. Aku terjatuh ke samping motor dan Kie terpental ke depan truk dan jatuh mengenai pinggiran jalan.
Kesadaranku masih ada, truk yang menabrak kami berhenti sebentar. Supirnya melihat ke arah Kie dan tiba – tiba dia melajukan kembali truknya. Aku langsung merangkak menuju Kie. Disitu kulihat darah di mana- mana. Darah keluar dari setiap luka di tubuhnya. Aku terdiam. Tidak bisa bergerak. Kurasakan otakku kelu melihatnya. Kupanggil dia berkali – kali, tapi dia tidak menjawab.kusentuh kepalanya yang tertutup rambut, dan kulihat tanganku basah dengan cairan kental merah. Kepalanya luka. Darah terus keluar. Tanganku gemetar. Seluruh tubuhku mengejang. Aku melihat kanan dan kiri tapi tidak ada siapa – siapa. Aku mencari tasku.. tanpa mempedulikan bunyi “krak” dikakiku aku beruasaha secepat mungkin merogoh tasku dan mengambil handphone. Kutelpon nomor pertama yang bisa ku telpon. Di sebrang sana Keito menjawab.
“Halo… ada apa Ryosuke, kau sedang kencankan hari ini?”
“Kie… Kie… ku… kumohon… selamatkan… kembalikan dia…ku… kumohon…”, rintihku gemetaran hampir tak terdengar.
"Ryosuke… Ryosuke ada apa…. apa yang terjadi?”
***
Sudah satu bulan sejak kejadian itu. Kie tidak bisa di selamatkan. Dia kehilangan banyak darah sehingga meninggal di ambulans saat perjalanan kami menuju rumah sakit. Tapi aku tahu itu bohong. Aku sama sekali tidak percaya akan hal itu. Aku tahu dia masih ada di sampingku. Mungkin dia marah karena aku tidak bisamengucapkan “Aku cinta kamu” atau dia ngambek karena aku hanya diam waktu dia minta aku menciumnya.
Aku tahu sekarang dia sedang bersembunyi menungguku untuk menyerah. Dan dia akan tersenyum manis lagi sambil berkata “Tuh kan… nggak bisa kalo nggak ada aku. Makanya cium donk…” Dan pasti aku akan langsung menciumnya atau apapun yang dia inginkan.
Karena itu Kie, kumohon… aku sudah menyerah… aku benar – benar tidak bisa tanpamu. Kembalilah dan tersenyum lagi padaku.
Aku terus menunggunya. Setiap hari di kelas aku terus melihat ke arah sampingku. Di meja yang kosong itu di letakkan vas bunga dan bunga krisan. Aku selalu kesal kalau anak – anak melakukan hal itu. Aku selalu mengambil vas itu dan membuangnya. Apa mereka tidak sadar, kalau Kie datang dan melihat itu semua dia akan kecewa. Aku benar – benar tidak ingin melihatnya kecewa untuk kesekian kalinya.
Anak – anak di kelas sangat keras kepala. Mereka benar – benar berfikir kalau Kie sudah mati, bahkan Keito yang mengerti akupun memaksaku untuk menerima. Menerima apa? Kie tidak pergi? Dia akan kembali…
Aku kesal pada anak – anak dan memutuskan untuk tidak mau sekolah. Biar kutunggu saja Kie di rumah. Dia pasti akan datang kerumah dan tersenyum manis seperti biasa lagi.
Sesekali Keito, dan anak - anak klub musik datang ke rumah. Mereka terus mengatakan tentang grup musik atau apalah itu. aku tidak peduli. Saat ini aku hanya ingin menunggu Kie dan aku akan terus menunggunya.
Tak lama setelah itu, aku benar – benar bosan dirumah. Mungkin Kie lupa alamat rumahku. Jadi aku memutuskan untuk datang kerumahnya. Sesampai dirumahnya, di depan rumah itu ada seorang ibu yang sedang menyiram tanaman. Dia menatapku…
“Kau... jangan – jangan kamu Ryosuke ya..?”
Lalu dia mengajakku masuk. Dia pergi sebentar dan kembali dengan membawa sebuah buku di tangannya.
“Ini, waktu tante bersih – bersih kamar Kie, tante menemukan ini di bawah tempat tidurnya. Tante rasa lebih baik kamu yang membawanya. Kamu Ryosuke pacarnya Kie, kan? Tante mohon maaf atas segala kesalahan Kie… tolong ikhlaskan dia.. biar anak tante bisa tenang di atas sana…”
Lagi – lagi orang ini mengatakan hal tidak jelas. Sudah kubilang Kie belum mati. Aku memutuskan untuk pergi dari rumahnya. Dan berlari menuju menuju sekolah. Saat itu sekolah sudah kosong, berarti ini hari Minggu atau entah hari libur apa ini. Hari - hariku sebulan ini terasa begitu sama tanpa Kie. Tapi aku berhasil memasuki sekolah itu, aku memanjat pagar dan merusak engsel pintu dengan batu yang kutemukan dibawah pohon tempat dimana aku dan Kie selalu makan siang bersama. Aku merasa mual melihat pohon itu. Aku naik ke lantai paling atas dan menuju perpustakaan. Kuingat kembali saat dia menyatakan perasaannya sambil menangis. Tiba – tiba air mataku jatuh.
“Kie… Kie… dimana kamu… Kie.. Kumohon.. KIE JANGAN SEMBUNYI…”
Aku mencarinya di setiap sudut perpustakaan. Aku takut. Pusing. Otakku tarasa ditekan. Aku tidak mau menerima apa yang terjadi. Aku tidak mau kehilangan Kie. Sungguh aku tahu ini tidak nyata, ini hanya mimpi. Mungkin aku harus mencubit pipiku untuk menyadarkanku dari mimpi. Tapi itu tidak cukup sakit, rasa sakit di sekujur di dada dan otakku ini terasa begitu nyata. Aku harus menemukan sesuatu yang lebih sakit dari sekedar cubitan di pipi.
Aku terhenti saat aku menemukan jendela di pojok ruangan. Apakah jika aku lompat dari lantai lima ini aku akan menemukannya. Mungkin aku bisa tersadar dan bangun dengan itu, atau mungkin aku bisa menyusulnya jika ini benar - benar terjadi. Perlahan kulangkahkan kakiku. Kurasakan kakiku gemetaran, tapi aku terus melangkah. Yang kuinginkan hanyalah bertemu dengan Kie. Sampai di depan jendela, aku membuka jendela itu. aku mulai menaikkan kaki kananku ke jendela itu dengan perlahan. Kurasakan debaran jantungku yang semakin cepat, kurasakan pula perasaan lega saat dimana aku akan mengakhiri penderitaan ini dan bertemu dengan Kie. Tetapi tiba – tiba angin berhembus sangat kencang… aku terdorong jatuh di lantai. Buku yang kepegang tadi juga terjatuh dan terbuka. Disitu ada selembar fotoku.
Aku menatap buku itu, kulihat fotoku yang difoto bersama anak – anak awal kelas tiga. Hari pertama Kie masuk. Foto itu sengaja dipotong hanya bagianku saja yang diletakkan di sela - sela bukunya. Aku membaca tulisan tangan Kie di buku itu.
Hari pertama masuk, deg degan banget... tapi ada yang menarik perhatianku. Dia duduk disebelahku. Senyumannya manis banget..
Aku membalik lembar berikutnya…
Kenapa sih dia jutek banget. Padahal kalo sama yang lain dia bisa senyum manis banget... kalo sama aku…
Aku membalik lagi berkali – kali…
Hari ini indah banget... aku beraniin diri bilang suka ke Ryosuke. tahu – tahu aku langsung dipeluk. Saking senengnya aku sampe nangis dipelukannya... malu banget...tapi seneng... apa lagi pertama kalinya dia senyum sama aku. Manis banget. Aku selalu pingin lihat senyumannya untukku itu..
Air mataku menetes... kuingat lagi saat itu… Aku masih ingat setiap sudut perpustakaan ini saat memelukknya.. Aku bahkan masih merasakan hangatnya pelukan Kie saat itu.. aku membalikkan lembarannya…
Aku nggak tahu gimana perasaan Ryosuke yang sebenarnya ke aku. Dia nggak pernah bilnga suka atau cinta.. emang sih kita kayak pacaran.. tapi nggak apa – apa deh.. asal dia senyum terus ke aku.. senyumannya yang bagai malaikat...
Aku cinta kamu… aku cinta banget sama kamu… aku cinta kamu lebih dari apapun di dunia ini… kumohon… kembalilah… aku menangis.. terus menangis.. aku semakin membulatkan tekadku untuk menyusulnya… untuk mengatakan perasaanku padanya… dan hal yang sama terjadi lagi, saat aku akan menuju jendela itu angin berhembus lagi… kali ini terasa lebih kuat dan hangat, entah angin hangat apa di bulan November ini.. karena angin itu lembaran itupun terbuka dengan sendirinya... beberapa kali lembaran itu berbalik, seakan - akan memilih satu lembar khusus... saat lembaran itu berhenti, tepat saat angin itu menipis.. aku membaca lembaran buku yang terbuka itu…
Aku paling suka senyumanmu Ryosuke. Kamu emang nggak pernah bilang cinta sama aku. Tapi aku percaya sama kamu. Aku percaya sama perasaanmu saat ini. aku percaya bahwa perasaanmu dan perasaanku saat ini nyata. Aku percaya bahwa hubungan indah kita ini nyata. Besok kencan pertama kita. Aku harap kamu bisa bilang “Aku Cinta Kamu” ke aku. Juga ngasih ciuman pertama buat aku.. tapi kalo kamu masih malu nggak apa – apa kog... asal kamu terus senyum, aku mau nunggu kamu seberapa lamapun.. asal kamu terus senyum sama tertawa.. aku rela mati.. aku rela mati demi senyuman dan kebahagiaanmu.. Sungguh... makanya aku pingin liat senyummu terus... tawamu terus.. kebahagiaanmua.. yah walo terlalu dini buat mikirin masa depan. Walopun suatu saat Ryosuke nggak sama aku, dan memilih gadis lain. tapi asal kamu terus tersenyum aku senang.. tersenyumlah.. ayo kita bahagia bersama..
Aku tidak bisa membendung air mataku. Aku tahu apa maksud semua ini. Aku tahu apa yang kamu inginin Kie. Air mataku terus membanjiri pipi dan mulai membasahi pakaianku. Mataku terasa ngilu karena terlalu banyak menangis, tapi air mata ini tidak bisa berhenti. Dadaku sesak menahan isak. Otakku terasa kelu merasakan kesedihan ini.
“Kenapa… kenapa kamu pergi begitu cepat… setidaknya, beri aku waktu untuk katakan `Aku Cinta Kamu` `Aku Sayang Kamu` `Aku menginkanmu Disisiku`… atau kasih aku waktu buat cium kamu.. atau apapun yang kamu inginin.. Kie.. Kie.. Kie... kenapa.. kenapa…”
Aku tidak bisa melanjutkan kata – kataku. Tenggorokanku tersendat karena isak tangisku. Aku tahu Kie kamu ingin aku tertawa. Aku janji setelah ini aku akan tertawa dan terus tertawa seperti yang kamu pinta. Tapi kali ini saja. Biarkan aku menangis. Kali ini aja. Aku benar – benar ingin menangis… kali ini saja…
***
Beautiful Memories. Monogatari DAI 1 KA.
Aku suka dia. Aku suka dia. Aku suka dia. Aku suka dia. Aku suka dia. Aku suka dia. Aku suka dia. Aku suka dia.
“Tentu aja aku nggak suka sama dia., aku nggak suka anak yang nggak bisa bergaul...”
Anak yang kumaksud “dia” itu mandengar apa yang kukatakan. Dia seakan – akan sangat kecewa dan berlari maninggalkan kelas.
“Ryosuke kau membuat dia nangis tuh…”, Keito menyenggol tanganku sambil tertawa.
Aaahh.. lagi – lagi aku menyakiti hatinya. Dia adalah Kie (Kyaaa… aku lho tokoh utama ceweknya >_____<). Dia baru pindah ke sekolah ini saat awal kelas tiga. Dan sebenarnya sejak pertama aku melihatnya aku sudah menyukainya. Tapi entah mengapa bodohnya aku, aku tidak pernah bisa berkutik jika berdekatan dengannya. Aku bahkan tidak berani menatap matanya. Padahal dia duduk disebelahku.
Aku hanya bisa menatapnya dari samping. Itupun harus kulakukan diam – diam. Rambutnya yang hitam panjang. Bibir merahnya yang kecil dan tipis. Dan matanya yang bulat. Juga kebiasaanya memajukan bibirnya pada saat sedang serius. Sangat cantik. tapi pujian itu hanya bisa kukatakn dalam hati. Aku bahkan belum mengatakan “Hai, namaku Kyosuke senang berkenalan denganmu.” Dan aku yakin aku tidak akan punya cukup keberanian untuk berbicara selancar itu dengannya.
“Kyosuke.. tolong Bantu aku menulis absensi…”, pinta Ketua Kelas padaku.
“Oke..”
“Kyosuke.. kau dipanggil Tomo Sensei di ruang guru. Katanya masalah nilai anak – anak…”, kata Mikan…
“Iya… bentar lagi aku kesana…”
“Kyosuke.. aku pinjaam pee eeer…” pinta teman yang duduk di depanku…
“ Ambil aja di tas…”
“Wah, pagi – pagi gini udah sibuk. Emang Kyosuka sang malaikat nggak pernah bisa nolak permintaan anak – anak.”, Keito mengusap – usap kepalaku sambil tersenyum lebar.
“Kalau Cuma gitu ya nggak perlu ditolak, kan? Udah deh aku ke Tomo Sensei dulu. Repot kalau dia nanti ceramah gara – gara aku telat.”
Aku meninggalkan kelas dan berjalan ke ruang guru. Entah gimana aku dijuluki Kyosuke sang malaikat. Padahal menurutku aku biasa – biasa saja. Mereka memang sering meminta tolong padaku. Kalau memang yang mereka minta bukan hal yang aneh – aneh pasti akan kutolong. Apa lagi aku dikenal supel dan murah senyum. Kata Keito aku selalu tersenyum waktu bicara sama orang lain, mungkin itu kebiasaan sejak kecil.
Tapi aku tidak pernah bisa tersenyum dengan Kie. Aku selalu gugup jika harus berbicara dengannya. Mungkin percakapanku dengannya hanya sebatas “Nih.. (waktu kasih lembar soal ulangan.)” atau “Tuh… (waktu Kie dipanggil guru)” atau “Hmm.. (waktu dia tanya tentang pelajaran)” kalau dipikir – pikir, dia sudah berusaha mengakrabkan diri padaku. Tapi akunya malah yang terlalu gugup bicara dengannya. Kegugupanku malah terlihat seperti ketus. Tak lama aku melihat Kie di depanku. Kami berpapasan. Dia melihatku dan seakan – akan ingin mengatkan sesuatu. Aku sangat gugup, saking gugupnya aku langsung memalingkan muka. Dia terlihat sangat kecewa, dan lagi – lagi aku melukai hatinya. Tapi aku tidak berani memandangnya, aku berlari meninggalkannya. Ya, akulah si malaikat pengecut.
***
Aku benar – benar diceramahi Tomo Sensei karena datang terlalu lama. Akhirnya sebagai hukuman aku diutus untuk meletakkan buku tugas anak – anak ke perpustakaan. Aku berjalan terhuyung ke perpustakaan. Buku – buku itu sangat berat. Sampai di perpustakaan yang sangat sepi itu aku melihat Kie sedang mengatur buku – buku. Aku baru ingat kalau dia ikut menjadi anggota perpustakaan.
Lagi – lagi aku gugup. Sangat gugup. Apalagi hari ini aku sudah mengacuhkannya dua kali. Dan aku tidak mau melukai perasaannya lagi. Aku benar – benar ingin minta maaf tapi tak bisa kulakukan. Kegugupanku mengunci rapat mulutku. Tapi tiba – tiba, lenganku menyenggol meja. Buku – buku yang kebawa dengan susahnya, terjatuh semua. Aku kebingungan untuk memungutinya lagi. Benar – benar memalukan.
Kie yang melihatku kesulitan langsung membantuku. Aku hanya menatapnya sebentar lalu sibuk mengambili buku buku. Atau lebih tepatnya sibuk mengatur detak jantungku yang tak karuan. Tanpa sadar kami mengambil buku yang sama. Jantungku berdegup lebih cepat lagi. Spontan kutarik buku itu, Kie terlihat sangat kaget.
“Apa kau begitu membenciku?”, dia memulai kata – katanya.
Tentu saja tidak. Aku sangat menyukaimu. Sangat. Andai kata – kata itu bisa kuucapka. Tapi aku hanya diam merapikan buku terakhir. Dan berdiri, meletakkannya di meja. Menatap Kie, aku terlalu pengecut untuk mengucapkan kata saat ini.
“Ternyata kau benar – benar membenciku ya…”
Matanya mulai berkaca – kaca. Aku benar – benar ingin menghapus air matanya. Tapi aku hanya terpaku tidak bisa bergerak. Kumohon jangan menangis untukku. Sebelum dia semakin sakit, aku harus pergi dari sini. Aku berbalik dan bersiap membuka pintu perpustakaan.
“Nggak peduli seberapa bencinya kamu sama aku… tapi… aku… suka kamu….”, kata – kata itu pelan diucapkannya. Dengan sedikit terisak.
Aku langsung berbalik. Meyakinkan apa yang baru saja kudengar. Aku terbelalak melihatnya. Dia menghadap ke lantai dengan terisak.
“Apa yang kamu katakan tadi…”
Dia kaget dan ketakutan. Mungkin nada suaraku yang gugup itu terdengar sangat menakutkan dimatanya.
“Maaf… aku seenaknya menyukaimu…” , Dia meletakkan kedua tangannya di dada.
Aku terhuyung. Orang yang selama ini diam – diam sangat kusukai menyakan cinta padaku. Apa ini keajaiban? Atau hanya mimpi? Ini terlalu indah kalau hanya sekedar mimpi… saking senangnya kakiku sampai lemas dan aku terjatuh di lantai.
Kie kaget melihatku terjatung. Dia menghampiriku. Menatapku cemas dengan mata basahnya.
“Kamu nggak apa – apa?”
Aku tidak bisa menjawabnya. Aku hanya terus menatapnya. Pertama kalinya aku mentapnya langsung dengan jarak sedekat ini. Aku mengingat lagi pernyataan cintanya. Membuat dadaku penuh. Aku tersenyum padanya. Menggerakkan kedua tanganku untuk memeluknya. Kie gelagapan, dan bingung.
“Diam dulu, biarin aja gini dulu sebentar. Kasih aku waktu buat ngolah kata – kata yang selama ini nggak bisa aku ucapin ke kamu…”
Kie terdiam. Kurasakan dia menarik nafas, dia mulai menggerakkan tangannya untuk membalas pelukanku. Mendekatkan tubuhnya padaku. Di dadaku, dia mulai terisak lagi.
“Tentu aja aku nggak suka sama dia., aku nggak suka anak yang nggak bisa bergaul...”
Anak yang kumaksud “dia” itu mandengar apa yang kukatakan. Dia seakan – akan sangat kecewa dan berlari maninggalkan kelas.
“Ryosuke kau membuat dia nangis tuh…”, Keito menyenggol tanganku sambil tertawa.
Aaahh.. lagi – lagi aku menyakiti hatinya. Dia adalah Kie (Kyaaa… aku lho tokoh utama ceweknya >_____<). Dia baru pindah ke sekolah ini saat awal kelas tiga. Dan sebenarnya sejak pertama aku melihatnya aku sudah menyukainya. Tapi entah mengapa bodohnya aku, aku tidak pernah bisa berkutik jika berdekatan dengannya. Aku bahkan tidak berani menatap matanya. Padahal dia duduk disebelahku.
Aku hanya bisa menatapnya dari samping. Itupun harus kulakukan diam – diam. Rambutnya yang hitam panjang. Bibir merahnya yang kecil dan tipis. Dan matanya yang bulat. Juga kebiasaanya memajukan bibirnya pada saat sedang serius. Sangat cantik. tapi pujian itu hanya bisa kukatakn dalam hati. Aku bahkan belum mengatakan “Hai, namaku Kyosuke senang berkenalan denganmu.” Dan aku yakin aku tidak akan punya cukup keberanian untuk berbicara selancar itu dengannya.
“Kyosuke.. tolong Bantu aku menulis absensi…”, pinta Ketua Kelas padaku.
“Oke..”
“Kyosuke.. kau dipanggil Tomo Sensei di ruang guru. Katanya masalah nilai anak – anak…”, kata Mikan…
“Iya… bentar lagi aku kesana…”
“Kyosuke.. aku pinjaam pee eeer…” pinta teman yang duduk di depanku…
“ Ambil aja di tas…”
“Wah, pagi – pagi gini udah sibuk. Emang Kyosuka sang malaikat nggak pernah bisa nolak permintaan anak – anak.”, Keito mengusap – usap kepalaku sambil tersenyum lebar.
“Kalau Cuma gitu ya nggak perlu ditolak, kan? Udah deh aku ke Tomo Sensei dulu. Repot kalau dia nanti ceramah gara – gara aku telat.”
Aku meninggalkan kelas dan berjalan ke ruang guru. Entah gimana aku dijuluki Kyosuke sang malaikat. Padahal menurutku aku biasa – biasa saja. Mereka memang sering meminta tolong padaku. Kalau memang yang mereka minta bukan hal yang aneh – aneh pasti akan kutolong. Apa lagi aku dikenal supel dan murah senyum. Kata Keito aku selalu tersenyum waktu bicara sama orang lain, mungkin itu kebiasaan sejak kecil.
Tapi aku tidak pernah bisa tersenyum dengan Kie. Aku selalu gugup jika harus berbicara dengannya. Mungkin percakapanku dengannya hanya sebatas “Nih.. (waktu kasih lembar soal ulangan.)” atau “Tuh… (waktu Kie dipanggil guru)” atau “Hmm.. (waktu dia tanya tentang pelajaran)” kalau dipikir – pikir, dia sudah berusaha mengakrabkan diri padaku. Tapi akunya malah yang terlalu gugup bicara dengannya. Kegugupanku malah terlihat seperti ketus. Tak lama aku melihat Kie di depanku. Kami berpapasan. Dia melihatku dan seakan – akan ingin mengatkan sesuatu. Aku sangat gugup, saking gugupnya aku langsung memalingkan muka. Dia terlihat sangat kecewa, dan lagi – lagi aku melukai hatinya. Tapi aku tidak berani memandangnya, aku berlari meninggalkannya. Ya, akulah si malaikat pengecut.
***
Aku benar – benar diceramahi Tomo Sensei karena datang terlalu lama. Akhirnya sebagai hukuman aku diutus untuk meletakkan buku tugas anak – anak ke perpustakaan. Aku berjalan terhuyung ke perpustakaan. Buku – buku itu sangat berat. Sampai di perpustakaan yang sangat sepi itu aku melihat Kie sedang mengatur buku – buku. Aku baru ingat kalau dia ikut menjadi anggota perpustakaan.
Lagi – lagi aku gugup. Sangat gugup. Apalagi hari ini aku sudah mengacuhkannya dua kali. Dan aku tidak mau melukai perasaannya lagi. Aku benar – benar ingin minta maaf tapi tak bisa kulakukan. Kegugupanku mengunci rapat mulutku. Tapi tiba – tiba, lenganku menyenggol meja. Buku – buku yang kebawa dengan susahnya, terjatuh semua. Aku kebingungan untuk memungutinya lagi. Benar – benar memalukan.
Kie yang melihatku kesulitan langsung membantuku. Aku hanya menatapnya sebentar lalu sibuk mengambili buku buku. Atau lebih tepatnya sibuk mengatur detak jantungku yang tak karuan. Tanpa sadar kami mengambil buku yang sama. Jantungku berdegup lebih cepat lagi. Spontan kutarik buku itu, Kie terlihat sangat kaget.
“Apa kau begitu membenciku?”, dia memulai kata – katanya.
Tentu saja tidak. Aku sangat menyukaimu. Sangat. Andai kata – kata itu bisa kuucapka. Tapi aku hanya diam merapikan buku terakhir. Dan berdiri, meletakkannya di meja. Menatap Kie, aku terlalu pengecut untuk mengucapkan kata saat ini.
“Ternyata kau benar – benar membenciku ya…”
Matanya mulai berkaca – kaca. Aku benar – benar ingin menghapus air matanya. Tapi aku hanya terpaku tidak bisa bergerak. Kumohon jangan menangis untukku. Sebelum dia semakin sakit, aku harus pergi dari sini. Aku berbalik dan bersiap membuka pintu perpustakaan.
“Nggak peduli seberapa bencinya kamu sama aku… tapi… aku… suka kamu….”, kata – kata itu pelan diucapkannya. Dengan sedikit terisak.
Aku langsung berbalik. Meyakinkan apa yang baru saja kudengar. Aku terbelalak melihatnya. Dia menghadap ke lantai dengan terisak.
“Apa yang kamu katakan tadi…”
Dia kaget dan ketakutan. Mungkin nada suaraku yang gugup itu terdengar sangat menakutkan dimatanya.
“Maaf… aku seenaknya menyukaimu…” , Dia meletakkan kedua tangannya di dada.
Aku terhuyung. Orang yang selama ini diam – diam sangat kusukai menyakan cinta padaku. Apa ini keajaiban? Atau hanya mimpi? Ini terlalu indah kalau hanya sekedar mimpi… saking senangnya kakiku sampai lemas dan aku terjatuh di lantai.
Kie kaget melihatku terjatung. Dia menghampiriku. Menatapku cemas dengan mata basahnya.
“Kamu nggak apa – apa?”
Aku tidak bisa menjawabnya. Aku hanya terus menatapnya. Pertama kalinya aku mentapnya langsung dengan jarak sedekat ini. Aku mengingat lagi pernyataan cintanya. Membuat dadaku penuh. Aku tersenyum padanya. Menggerakkan kedua tanganku untuk memeluknya. Kie gelagapan, dan bingung.
“Diam dulu, biarin aja gini dulu sebentar. Kasih aku waktu buat ngolah kata – kata yang selama ini nggak bisa aku ucapin ke kamu…”
Kie terdiam. Kurasakan dia menarik nafas, dia mulai menggerakkan tangannya untuk membalas pelukanku. Mendekatkan tubuhnya padaku. Di dadaku, dia mulai terisak lagi.
Subscribe to:
Posts (Atom)