Saturday, November 6, 2010

Beautiful Memories. Monogatari DAI 1 KA.

Aku suka dia. Aku suka dia. Aku suka dia. Aku suka dia. Aku suka dia. Aku suka dia. Aku suka dia. Aku suka dia.

“Tentu aja aku nggak suka sama dia., aku nggak suka anak yang nggak bisa bergaul...”

Anak yang kumaksud “dia” itu mandengar apa yang kukatakan. Dia seakan – akan sangat kecewa dan berlari maninggalkan kelas.

“Ryosuke kau membuat dia nangis tuh…”, Keito menyenggol tanganku sambil tertawa.

Aaahh.. lagi – lagi aku menyakiti hatinya. Dia adalah Kie (Kyaaa… aku lho tokoh utama ceweknya >_____<). Dia baru pindah ke sekolah ini saat awal kelas tiga. Dan sebenarnya sejak pertama aku melihatnya aku sudah menyukainya. Tapi entah mengapa bodohnya aku, aku tidak pernah bisa berkutik jika berdekatan dengannya. Aku bahkan tidak berani menatap matanya. Padahal dia duduk disebelahku.

Aku hanya bisa menatapnya dari samping. Itupun harus kulakukan diam – diam. Rambutnya yang hitam panjang. Bibir merahnya yang kecil dan tipis. Dan matanya yang bulat. Juga kebiasaanya memajukan bibirnya pada saat sedang serius. Sangat cantik. tapi pujian itu hanya bisa kukatakn dalam hati. Aku bahkan belum mengatakan “Hai, namaku Kyosuke senang berkenalan denganmu.” Dan aku yakin aku tidak akan punya cukup keberanian untuk berbicara selancar itu dengannya.

“Kyosuke.. tolong Bantu aku menulis absensi…”, pinta Ketua Kelas padaku.

“Oke..”

“Kyosuke.. kau dipanggil Tomo Sensei di ruang guru. Katanya masalah nilai anak – anak…”, kata Mikan…

“Iya… bentar lagi aku kesana…”

“Kyosuke.. aku pinjaam pee eeer…” pinta teman yang duduk di depanku…

“ Ambil aja di tas…”

“Wah, pagi – pagi gini udah sibuk. Emang Kyosuka sang malaikat nggak pernah bisa nolak permintaan anak – anak.”, Keito mengusap – usap kepalaku sambil tersenyum lebar.

“Kalau Cuma gitu ya nggak perlu ditolak, kan? Udah deh aku ke Tomo Sensei dulu. Repot kalau dia nanti ceramah gara – gara aku telat.”

Aku meninggalkan kelas dan berjalan ke ruang guru. Entah gimana aku dijuluki Kyosuke sang malaikat. Padahal menurutku aku biasa – biasa saja. Mereka memang sering meminta tolong padaku. Kalau memang yang mereka minta bukan hal yang aneh – aneh pasti akan kutolong. Apa lagi aku dikenal supel dan murah senyum. Kata Keito aku selalu tersenyum waktu bicara sama orang lain, mungkin itu kebiasaan sejak kecil.

Tapi aku tidak pernah bisa tersenyum dengan Kie. Aku selalu gugup jika harus berbicara dengannya. Mungkin percakapanku dengannya hanya sebatas “Nih.. (waktu kasih lembar soal ulangan.)” atau “Tuh… (waktu Kie dipanggil guru)” atau “Hmm.. (waktu dia tanya tentang pelajaran)” kalau dipikir – pikir, dia sudah berusaha mengakrabkan diri padaku. Tapi akunya malah yang terlalu gugup bicara dengannya. Kegugupanku malah terlihat seperti ketus. Tak lama aku melihat Kie di depanku. Kami berpapasan. Dia melihatku dan seakan – akan ingin mengatkan sesuatu. Aku sangat gugup, saking gugupnya aku langsung memalingkan muka. Dia terlihat sangat kecewa, dan lagi – lagi aku melukai hatinya. Tapi aku tidak berani memandangnya, aku berlari meninggalkannya. Ya, akulah si malaikat pengecut.
***

Aku benar – benar diceramahi Tomo Sensei karena datang terlalu lama. Akhirnya sebagai hukuman aku diutus untuk meletakkan buku tugas anak – anak ke perpustakaan. Aku berjalan terhuyung ke perpustakaan. Buku – buku itu sangat berat. Sampai di perpustakaan yang sangat sepi itu aku melihat Kie sedang mengatur buku – buku. Aku baru ingat kalau dia ikut menjadi anggota perpustakaan.

Lagi – lagi aku gugup. Sangat gugup. Apalagi hari ini aku sudah mengacuhkannya dua kali. Dan aku tidak mau melukai perasaannya lagi. Aku benar – benar ingin minta maaf tapi tak bisa kulakukan. Kegugupanku mengunci rapat mulutku. Tapi tiba – tiba, lenganku menyenggol meja. Buku – buku yang kebawa dengan susahnya, terjatuh semua. Aku kebingungan untuk memungutinya lagi. Benar – benar memalukan.

Kie yang melihatku kesulitan langsung membantuku. Aku hanya menatapnya sebentar lalu sibuk mengambili buku buku. Atau lebih tepatnya sibuk mengatur detak jantungku yang tak karuan. Tanpa sadar kami mengambil buku yang sama. Jantungku berdegup lebih cepat lagi. Spontan kutarik buku itu, Kie terlihat sangat kaget.

“Apa kau begitu membenciku?”, dia memulai kata – katanya.

Tentu saja tidak. Aku sangat menyukaimu. Sangat. Andai kata – kata itu bisa kuucapka. Tapi aku hanya diam merapikan buku terakhir. Dan berdiri, meletakkannya di meja. Menatap Kie, aku terlalu pengecut untuk mengucapkan kata saat ini.

“Ternyata kau benar – benar membenciku ya…”

Matanya mulai berkaca – kaca. Aku benar – benar ingin menghapus air matanya. Tapi aku hanya terpaku tidak bisa bergerak. Kumohon jangan menangis untukku. Sebelum dia semakin sakit, aku harus pergi dari sini. Aku berbalik dan bersiap membuka pintu perpustakaan.

“Nggak peduli seberapa bencinya kamu sama aku… tapi… aku… suka kamu….”, kata – kata itu pelan diucapkannya. Dengan sedikit terisak.

Aku langsung berbalik. Meyakinkan apa yang baru saja kudengar. Aku terbelalak melihatnya. Dia menghadap ke lantai dengan terisak.

“Apa yang kamu katakan tadi…”

Dia kaget dan ketakutan. Mungkin nada suaraku yang gugup itu terdengar sangat menakutkan dimatanya.

“Maaf… aku seenaknya menyukaimu…” , Dia meletakkan kedua tangannya di dada.

Aku terhuyung. Orang yang selama ini diam – diam sangat kusukai menyakan cinta padaku. Apa ini keajaiban? Atau hanya mimpi? Ini terlalu indah kalau hanya sekedar mimpi… saking senangnya kakiku sampai lemas dan aku terjatuh di lantai.

Kie kaget melihatku terjatung. Dia menghampiriku. Menatapku cemas dengan mata basahnya.

“Kamu nggak apa – apa?”

Aku tidak bisa menjawabnya. Aku hanya terus menatapnya. Pertama kalinya aku mentapnya langsung dengan jarak sedekat ini. Aku mengingat lagi pernyataan cintanya. Membuat dadaku penuh. Aku tersenyum padanya. Menggerakkan kedua tanganku untuk memeluknya. Kie gelagapan, dan bingung.

“Diam dulu, biarin aja gini dulu sebentar. Kasih aku waktu buat ngolah kata – kata yang selama ini nggak bisa aku ucapin ke kamu…”

Kie terdiam. Kurasakan dia menarik nafas, dia mulai menggerakkan tangannya untuk membalas pelukanku. Mendekatkan tubuhnya padaku. Di dadaku, dia mulai terisak lagi.

No comments:

Post a Comment