Monday, December 10, 2012

Catatan Untuk Mas Yanto


Waktu pertama kali aku bisa ingat tentang dunia,  sosok Mas Yanto sudah ada disampingku. Hal yang paling aku ingat waktu aku TK, mungkin 4 tahun, waktu itu aku masih tinggal di Jogja, Mas Yanto selalu mengantar jemput aku dengan vespanya. Hal lucu yang diceritakan papa dan mama, katanya dulu waktu awal masuk TK aku gag mau belajar kalau gag ada Mas Yanto yang keliatan dari jendela, katanya sih aku baru mau belajar kalo udah dikasih kue sama Mas Yanto. Walau aku gag begitu ingat saat itu, tapi Mas Yanto selalu cerita dengan senyum tersungging di wajahnya. Biasanya kalau diantar jemput pakai  vespanya aku selalu duduk di bagian bawah tempat pijakan kaki untuk vespa, aku masih ingat walau samar-samar pemandangan dari sudut mata rendah di jalan raya yang selalu aku lewati. Kaki Mas Yanto yang sesekali menginjak pedal rem. Aku ingat hal itu.
Hal yang paling aku ingat lagi waktu aku masih tinggal di Jogja itu, insiden jatuh ke kolam. Jadi  di depan rumahku ada kolam lele besar, disitu aku sering banget maen sebrang-sebrangngan. Yaa, kayak anak kecil pada umumnya yang hobby jatuh, aku jatuh dengan kepala membentur dasar kolam. Aku lupa sih rasa sakitnya gimana, pokoknya bekas dari jatuh ke kolam itu sampai sekarang masih berbekas dengan se”nononk” jidat di jidat kiriku. Yang pasti waktu itu aku nangis keras banget, Mas Yanto yang nolongin aku, gendong aku yang nangis kesetanan. Nenangin aku, terus marahin aku, terus ditenangin lagi. Pokoknya Mas Yanto yang nemenin aku waktu itu. Aku ingat hal itu.
Kelas 3 SD aku harus pindah ke Surabaya, Mas Yanto tetap di Jogja ngurusin bisnis mobilnya papa. Aku sedih banget, kenapa Mas Yanto harus gag ikut ke Surabaya. Kenapa Mas Yanto yang harus ngurus bisnisnya papa. Kenapa Mas Yanto tetap minta tinggal di Jogja. Aku sedih. Rumah di Jogja ditinggali sama Mas Yanto sendiri. Sebulan sekali keluargaku ke Jogja buat main, biasanya hari Jumat, Sabtu dan Minggu. Aku ingat banget, dulu sungai di rumah Purwo masih jernih, aku sering banget renang disana. Mas Yanto juga ikut renang. Pokoknya seneng banget deh. Waktu itu seluruh keluarga renang di Sungai, biasanya dari pagi sampai siang, pulang dari renang beli makan di luar. Sayangnya sekarang sungai itu udah jadi tempat penggerukan pasir, sungainya jadi jelek, airnya gag deras lagi. Tapi waktu-waktu bahagia di sungai itu gag akan pernah aku lupain. Aku ingat banget saat-saat itu.
Mungkin waktu itu aku masih SMP, aku dengar dari Papa kalau Mas Yanto kena Kanker. Penyakit Kanker yang katanya cukup ganas, penyakit kanker yang menyerang tenggorokannya. Penyakit kanker yang merubah hidupnya sejak saat itu.
Oprasi dilakukan, katanya Mal Praktek. Bukannya tambah sembuh, Mas Yanto malah gag bisa gerakin rahangnya. Gag bisa ngomong, gag bisa ngunyah, gag bisa makan. Sejak saat itu, Mas Yanto Cuma bisa makan makanan halus, harus di blender dan harus disedot dengan sedotan.
Banyak pengobatan dilalui, Mas Yanto pengen cepat sembuh. Walau aku yakin kalau Mas Yanto tahu sembuh itu gag semudah membalik telapak tangan, banyak tindakan burur-buru dari Mas Yanto. Langsung berhenti pengobatan kalau belum kerasa enakan, aku tahu Mas Yanto capek sama penyakitnya. Aku tahu, tapi kalo aja Mas Yanto gag gegabah berhenti berobat. Padahal Mas Yanto kuat, padahal Mas Yanto sering banget marahin aku kalo aku salah, padahal Mas Yanto dulu sehat. Tapi waktu itu Mas Yanto keliatan lemah, mukanya yang segar berubah cekung karena oprasi, badannya yang dulu gemuk jadi kurus. Orang bilang Mas Yanto kuat, dengan kanker ganas kayak gitu, banyak yang gag bisa bertahan sampai setahun. Tapi Mas Yanto bisa bertahan bertahun-tahun. Yaa, Mas Yanto tetap Mas Yanto yang kuat, walau fisiknya berubah kayak gimanapun Mas Yanto tetap Mas Yanto yang kuat.
Mas Yanto makin kurus, terakhir jalan-jalan sama Mas Yanto waktu gunung Merapi habis meletus. Sekedar pengen lihat gimana sisa-sisa letusan Merapi di Jogja. Kami sekeluarga jalan-jalan melihat pasir-pasir dan pohon- pohon yang hampir jadi abu. Menyenangkan tentunya, walau melihat sisa-sisa bencana harusnya sedih, tapi saat itu benar-benar menyenangkan. Banyak foto yang kami ambil.  Segagnya disitu aku masih lihat senyuman di wajah Mas Yanto.
Mas kandungku menikah 2 tahun lalu, Mas Yanto masih sempat dateng ke nikahannya di Surabaya. Kami sekeluarga pikir Mas Yanto sakit dan gag bisa ke Surabaya, tapi kayak kejutan yang membahagiakan, tiba-tiba aja Mas Yanto dateng ke acara nikahan itu. Tiba – tiba muncul dari balik pintu dan berkata “Halo” dengan senyumannya. Mas Yanto dengan penyakit ganasnya, berjuang untuk datang di salah satu momen bahagia keluarga kami. Mas Yanto yang baik... Mas Yanto yang kuat..., ngerayain kebahagiaan bersama, syukurlah ya Mas Yanto, masih bisa liat salah satu dari anak-anaknya papa menikah. Walaupun sebenarnya aku pingin banget kalau suat saat aku menikah Mas Yanto juga bisa lihat langsung, tapi aku tetep seneng masih ada kebahagiaan yang bisa kita rayakan bersama.
Keadaan Mas Yanto seperti berjalan ditempat, berobat sana-sini dan gag ada kemajuan pada kondisinya. Hanya sedikit enakan, terus drop lagi, setelah berobat di tempat lain jadi sedikit enakan, dan tetap berakhir dengan kondisi yang drop. Seperti berputar di lingkaran tanpa sudut, seperti berusaha tanpa tahu akan ada atau tidaknya cahaya di depan jalan itu. Seperti hanya berjalan sambil menunggu. Dan aku Cuma bisa berdoa, berdoa, berdoa untuk Mas Yanto.
1 Bulan yang lalu, Oktober 2012, Aku sekeluarga bermaksud jalan-jalan ke Semarang dan Jogja. Yaa, sekedar acara keluarga bersama saja. Waktu lagi belanja di Malioboro, papa dapat kabar Mas Yanto masuk UGD. Muntah Darah. Aku gag gitu ngerti seberapa parah, jadi setelah kita selesaikan belanja, baru ke RSUP Sardjito untuk liat keadaan Mas Yanto.
Badan kurus Mas Yanto gemetaran, dingin katanya, setiap batuk, darah segar keluar dari mulutnya. Tisu-tisu yang sebelumnya putih, mulai memerah dan terus memerah di tangan Mas Yanto, Bajunya penuh cipratan darah. Mas Yanto disana, duduk dengan tubuh gemetaran, menyadari kehadiranku, tapi gag bisa bereaksi apa-apa. Cuma melihatku, batuk dan keluar darah dari mulutnya. Aku takut. Takut. Aku menahan air mataku. Aku takut akan kegelapan yang mungkin akan menghampiri Mas Yanto sebentar lagi.
Aku kembali ke Surabaya, tapi Papa, Mama sama adekku tetap di Jogja untuk merawat Mas Yanto. Keadaan Mas Yanto mulai pulih. Mas Yanto dirawat inap dan harus menjalani pengobatan-pengobatan secara berkala. Aku lega. Aku berharap ada cahaya yang menanti Mas Yanto.
Dua minggu kemudian, aku sekeluarga menjenguk Mas Yanto. Aku melihat pemandangan yang berbeda dari Mas Yanto waktu itu. Mas Yanto tersenyum cerah sekali, seolah-olah telah menanti kami seharian. Aku senang banget waktu lihat keadaan Mas Yanto yang baikan waktu itu. Mas Yanto cerita banyak tentang perawatan yang diterima, tentang selang dihidungnya yang menyambung langsung ke lambung, tentang bajunya yang sudah dilaundri tapi darahnya belum bisa hilang, tentang antusiasmenya waktu dokter bilang besok sudah boleh pulang. Aku senang banget Mas Yanto jadi semangat kayak gitu, aku rasa sudah berapa tahun Mas Yanto gag seceria itu. Harusnya aku tahu kalau itu adalah sebuah tanda. Sabtu sore aku pulang dari Jogja, Mas Yanto melambaikan tangannya di depan pintu. Lambaian tangan yang sama seperti lambaian tangan setiap aku akan pulang ke Surabaya. Aku meneteskan air mataku, aku benar-benar berharap ada cahaya harapan yang menanti Mas Yanto.
Cahaya itu akhirnya muncul, 2 hari setelah ulang tahunku yang ke 21, 9 Desember 2012. Cahaya itu menghentikan rasa sakitnya untuk selamanya. Cahaya itu menjadi akhir dari perjalanan yang penuh dengan rasa sakit. Allah S.W.T. menjemput Mas Yanto setelah adzan Isya berkumandang. Mas Yanto meninggalkan dunia ini sendirian, tidak ada kami disisinya, sendirian di kamar Rumah Sakit. Apa yang Mas Yanto pikirkan waktu itu? Apa Mas Yanto ingat kami? Kenapa harus sendirian? Maaf Mas Yanto, aku gag bisa nemenin Mas Yanto. Kaluarga kami disini malah ngadain acara ulang tahunku. SMS terakhir dari Mas Yanto yang aku terima tepat di hari ulang tahunku, tentang keluhanmu akan rasa sakit di sekujur tubuhmu, maaf aku Cuma bisa menjawab sabar dan berdoa. Kenapa harus sendirian. Kenapa gag waktu ada kami disana. Kenapa Mas Yanto selalu menunjukkan kalau keadaan Mas Yanto baikan tiap kami datang. Mas Yanto pernah minta Mas Igol yang nemenin waktu Mas Yanto sakit, tapi gag bisa soalnya Mas Igol harus kerja. Seandainya kami tahu...
Mas Yanto, banyak... banyak... banyak banget kenangan dan pelajaran yang Mas Yanto kasih untukku. Banyak banget kenangan indah yang Mas Yanto kasih ke aku. Dimarahi, diajari, guyon sama-sama, ngajarin nyetir mobil... Mas Yanto udah kayak Mas kandungku sendiri... Mas Yanto udah jadi bagian keluarga untukku... Kalau bayangin gag bisa ketemu lagi, air mata ini gag pernah mau berhenti mengalir... Mas Yanto lagi apa sekarang? Mas Yanto maukan maafin kami karena gag bisa nemenin di saat terakhir Mas Yanto... Apa Mas Yanto udah enakan sekarang... Rasa sakit di seluruh badan Mas Yanto udah hilangkan? Mas Yanto udah tenang kan? Doaku selalu ada disamping Mas Yanto.
Ya Allaaaaah.... jika engkau memang memberikan rasa sakit dihidupnya, berikanlah kebahagiaan di sisi-Mu sekarang...  Engkaulah yang Maha Tahu akan seberapa besar rasa cinta kami ke Mas Yanto, juga seberapa besar rasa cinta Mas Yanto pada kami... Cukupkanlah hal tersebut sebagai syarat agar Mas Yanto bisa tenang di sisi-Mu yaa Allaaah... Terima kasih telah menghentikan rasa sakit pada Mas Yanto, Mas Yanto telah berpulang ke rumah-Mu yang begitu indah... Hamba mohon ya Allaaaaah... tempatkanlah Mas Yanto di tempatyang paling nyaman dan bahagia di sisi-Mu... hamba mohoooon ya Allaaaaah... Amiin..

Tuesday, November 6, 2012

CAPPUCINO


                Perempuan itu memesan secangkir Cappucino favoritnya, memandang lurus bangku yang biasa dia duduki dan mendapati bangku itu masih kosong. Dia tersenyum. Matanya berani penuh ambisi akan masa depan, menahan muntahan kata – kata bahagia tentang jenjang karirnya yang ingin dia ceritakan pada pria yang akan dia temui sebentar lagi.
                Sambil menyeruput Cappucino yang masih hangat, dia memasang headphone di telinganya. Sheila on 7 – Anugrah Terindah Yang Pernah Kumiliki. Lagu yang cukup lama memang, tapi tetap favorit baginya. Sama seperti Cappucino yang tidak bisa digantikan dengan kopi – kopi lain. Seperti seorang pria yang tidak bisa diimbangi dengan seluruh pria di muka bumi.
                 Sembari mendengar lagu itu, lamunannya berlari ke lima tahun yang lalu, saat pertama kali bertemu pria itu. Seorang pria dengan tampangnya yang biasa, tapi memiliki senyum renyah yang seperti magnet baginya. Kedekatan mereka berdua diawali dengan mengambil buku yang sama di sebuah toko buku. Dia kembali menyesap Cappucino hangatnya, lalu tersenyum, tak habis pikir dengan takdir konyol yang mempertemukan mereka.
                Masih menunggu pria itu, dia kembali berjalan cepat ke empat tahun yang lalu. Saat pria itu dengan gugupnya meminta seluruh hatinya. Dia selalu menikmati kegugupan pria itu saat tangan mereka tidak sengaja bersentuhan, dia selalu menikmati tatapan yang dipenuhi oleh cinta dari pria itu, dan dia sangat menikmati wajah pria itu saat kata cinta terucap dari mulutnya. Saat pria itu berkata tentangnya, tentang debarannya, tentang cintanya. Walau dadanya penuh, dengan sekuat tenaga dia berkata “Iya” dengan ringan sambil menyeruput Cappucino pesannya. Belaian pertama yang dia terima tidak pernah dia lupakan. “Terima kasih” kata pria itu. Cappucino manis itu menjadi saksi bisu menyatunya hati mereka. Sejak saat itu, dia sangat menyukai Cappucino.
                Air matanya tidak sempat menetes karena langsung dia usap dengan tisu yang sudah disediakan di meja. Hatinya penuh dengan kenangan indah dengannya. Tapi pria yang dia tunggu belum juga datang, kebiasaan lama, selalu terlambat. Cappucinonya tinggal setengah, dengan menyesapnya perlahan dia menatap jam. Pria itu selalu terlambat, dan dia selalu menikmati saat melihat wajah pria itu yang tergopoh – gopoh berlari menuju mejanya. Dengan senyum renyahnya yang seperti biasa dan kedua telapak tangan yang ditangkupkan.
                “Maaaf, jalanan macet…”
                “Cappucinoku sudah mau habis…”
                “Maaf… Maaaf banget… aku pesankan Cappucino lagi..”
                Melihat pria itu berlari menuju kasir untuk memesan Cappucino bukan hal yang baru untuknya, tapi setiap langkah pria itu yang membawa secangkir Cappucino untuknya selalu membuat dadanya penuh. Menghapuskan ambisinya tentang jengjang karir dan segala tetek bengek materi hidup.
                “Jadi, kamu mau cerita tentang apa?”, pria itu memamerkan senyum renyahnya lagi.
                “Tidak… tidak ada… “
                Lagi – lagi pria itu tersenyum, tak lama membelai lembut rambut perempuan yang dadanya sudah dipenuhi oleh cinta di depannya. Mereka hanya saling menatap, ada komunikasi dalam tatapan mereka. Mereka menyadari bahwa masing – masing dari mereka adalah sebuah anugrah terindah yang diberikan Tuhan. Rasa syukur di benak pria itu  hampir saja membuatnya lupa tentang Cincin yang menjadi penyebabnya terlambat tadi.
                “Hei, aku yang mau bicara….”, kata pria itu, mulai gugup.