Waktu pertama kali aku bisa ingat tentang dunia, sosok Mas Yanto sudah ada disampingku. Hal
yang paling aku ingat waktu aku TK, mungkin 4 tahun, waktu itu aku masih
tinggal di Jogja, Mas Yanto selalu mengantar jemput aku dengan vespanya. Hal
lucu yang diceritakan papa dan mama, katanya dulu waktu awal masuk TK aku gag
mau belajar kalau gag ada Mas Yanto yang keliatan dari jendela, katanya sih aku
baru mau belajar kalo udah dikasih kue sama Mas Yanto. Walau aku gag begitu
ingat saat itu, tapi Mas Yanto selalu cerita dengan senyum tersungging di
wajahnya. Biasanya kalau diantar jemput pakai
vespanya aku selalu duduk di bagian bawah tempat pijakan kaki untuk
vespa, aku masih ingat walau samar-samar pemandangan dari sudut mata rendah di
jalan raya yang selalu aku lewati. Kaki Mas Yanto yang sesekali menginjak pedal
rem. Aku ingat hal itu.
Hal yang paling aku ingat lagi waktu aku masih tinggal di
Jogja itu, insiden jatuh ke kolam. Jadi
di depan rumahku ada kolam lele besar, disitu aku sering banget maen sebrang-sebrangngan.
Yaa, kayak anak kecil pada umumnya yang hobby jatuh, aku jatuh dengan kepala
membentur dasar kolam. Aku lupa sih rasa sakitnya gimana, pokoknya bekas dari
jatuh ke kolam itu sampai sekarang masih berbekas dengan se”nononk” jidat di
jidat kiriku. Yang pasti waktu itu aku nangis keras banget, Mas Yanto yang
nolongin aku, gendong aku yang nangis kesetanan. Nenangin aku, terus marahin
aku, terus ditenangin lagi. Pokoknya Mas Yanto yang nemenin aku waktu itu. Aku
ingat hal itu.
Kelas 3 SD aku harus pindah ke Surabaya, Mas Yanto tetap di
Jogja ngurusin bisnis mobilnya papa. Aku sedih banget, kenapa Mas Yanto harus
gag ikut ke Surabaya. Kenapa Mas Yanto yang harus ngurus bisnisnya papa. Kenapa
Mas Yanto tetap minta tinggal di Jogja. Aku sedih. Rumah di Jogja ditinggali
sama Mas Yanto sendiri. Sebulan sekali keluargaku ke Jogja buat main, biasanya
hari Jumat, Sabtu dan Minggu. Aku ingat banget, dulu sungai di rumah Purwo
masih jernih, aku sering banget renang disana. Mas Yanto juga ikut renang. Pokoknya
seneng banget deh. Waktu itu seluruh keluarga renang di Sungai, biasanya dari
pagi sampai siang, pulang dari renang beli makan di luar. Sayangnya sekarang
sungai itu udah jadi tempat penggerukan pasir, sungainya jadi jelek, airnya gag
deras lagi. Tapi waktu-waktu bahagia di sungai itu gag akan pernah aku lupain.
Aku ingat banget saat-saat itu.
Mungkin waktu itu aku masih SMP, aku dengar dari Papa kalau
Mas Yanto kena Kanker. Penyakit Kanker yang katanya cukup ganas, penyakit kanker
yang menyerang tenggorokannya. Penyakit kanker yang merubah hidupnya sejak saat
itu.
Oprasi dilakukan, katanya Mal Praktek. Bukannya tambah
sembuh, Mas Yanto malah gag bisa gerakin rahangnya. Gag bisa ngomong, gag bisa
ngunyah, gag bisa makan. Sejak saat itu, Mas Yanto Cuma bisa makan makanan
halus, harus di blender dan harus disedot dengan sedotan.
Banyak pengobatan dilalui, Mas Yanto pengen cepat sembuh.
Walau aku yakin kalau Mas Yanto tahu sembuh itu gag semudah membalik telapak
tangan, banyak tindakan burur-buru dari Mas Yanto. Langsung berhenti pengobatan
kalau belum kerasa enakan, aku tahu Mas Yanto capek sama penyakitnya. Aku tahu,
tapi kalo aja Mas Yanto gag gegabah berhenti berobat. Padahal Mas Yanto kuat,
padahal Mas Yanto sering banget marahin aku kalo aku salah, padahal Mas Yanto
dulu sehat. Tapi waktu itu Mas Yanto keliatan lemah, mukanya yang segar berubah
cekung karena oprasi, badannya yang dulu gemuk jadi kurus. Orang bilang Mas
Yanto kuat, dengan kanker ganas kayak gitu, banyak yang gag bisa bertahan
sampai setahun. Tapi Mas Yanto bisa bertahan bertahun-tahun. Yaa, Mas Yanto
tetap Mas Yanto yang kuat, walau fisiknya berubah kayak gimanapun Mas Yanto
tetap Mas Yanto yang kuat.
Mas Yanto makin kurus, terakhir jalan-jalan sama Mas Yanto
waktu gunung Merapi habis meletus. Sekedar pengen lihat gimana sisa-sisa
letusan Merapi di Jogja. Kami sekeluarga jalan-jalan melihat pasir-pasir dan
pohon- pohon yang hampir jadi abu. Menyenangkan tentunya, walau melihat
sisa-sisa bencana harusnya sedih, tapi saat itu benar-benar menyenangkan.
Banyak foto yang kami ambil. Segagnya
disitu aku masih lihat senyuman di wajah Mas Yanto.
Mas kandungku menikah 2 tahun lalu, Mas Yanto masih sempat
dateng ke nikahannya di Surabaya. Kami sekeluarga pikir Mas Yanto sakit dan gag
bisa ke Surabaya, tapi kayak kejutan yang membahagiakan, tiba-tiba aja Mas
Yanto dateng ke acara nikahan itu. Tiba – tiba muncul dari balik pintu dan
berkata “Halo” dengan senyumannya. Mas Yanto dengan penyakit ganasnya, berjuang
untuk datang di salah satu momen bahagia keluarga kami. Mas Yanto yang baik...
Mas Yanto yang kuat..., ngerayain kebahagiaan bersama, syukurlah ya Mas Yanto,
masih bisa liat salah satu dari anak-anaknya papa menikah. Walaupun sebenarnya
aku pingin banget kalau suat saat aku menikah Mas Yanto juga bisa lihat
langsung, tapi aku tetep seneng masih ada kebahagiaan yang bisa kita rayakan
bersama.
Keadaan Mas Yanto seperti berjalan ditempat, berobat
sana-sini dan gag ada kemajuan pada kondisinya. Hanya sedikit enakan, terus
drop lagi, setelah berobat di tempat lain jadi sedikit enakan, dan tetap
berakhir dengan kondisi yang drop. Seperti berputar di lingkaran tanpa sudut,
seperti berusaha tanpa tahu akan ada atau tidaknya cahaya di depan jalan itu.
Seperti hanya berjalan sambil menunggu. Dan aku Cuma bisa berdoa, berdoa,
berdoa untuk Mas Yanto.
1 Bulan yang lalu, Oktober 2012, Aku sekeluarga bermaksud
jalan-jalan ke Semarang dan Jogja. Yaa, sekedar acara keluarga bersama saja.
Waktu lagi belanja di Malioboro, papa dapat kabar Mas Yanto masuk UGD. Muntah
Darah. Aku gag gitu ngerti seberapa parah, jadi setelah kita selesaikan
belanja, baru ke RSUP Sardjito untuk liat keadaan Mas Yanto.
Badan kurus Mas Yanto gemetaran, dingin katanya, setiap
batuk, darah segar keluar dari mulutnya. Tisu-tisu yang sebelumnya putih, mulai
memerah dan terus memerah di tangan Mas Yanto, Bajunya penuh cipratan darah.
Mas Yanto disana, duduk dengan tubuh gemetaran, menyadari kehadiranku, tapi gag
bisa bereaksi apa-apa. Cuma melihatku, batuk dan keluar darah dari mulutnya.
Aku takut. Takut. Aku menahan air mataku. Aku takut akan kegelapan yang mungkin
akan menghampiri Mas Yanto sebentar lagi.
Aku kembali ke Surabaya, tapi Papa, Mama sama adekku tetap
di Jogja untuk merawat Mas Yanto. Keadaan Mas Yanto mulai pulih. Mas Yanto
dirawat inap dan harus menjalani pengobatan-pengobatan secara berkala. Aku
lega. Aku berharap ada cahaya yang menanti Mas Yanto.
Dua minggu kemudian, aku sekeluarga menjenguk Mas Yanto.
Aku melihat pemandangan yang berbeda dari Mas Yanto waktu itu. Mas Yanto
tersenyum cerah sekali, seolah-olah telah menanti kami seharian. Aku senang
banget waktu lihat keadaan Mas Yanto yang baikan waktu itu. Mas Yanto cerita
banyak tentang perawatan yang diterima, tentang selang dihidungnya yang
menyambung langsung ke lambung, tentang bajunya yang sudah dilaundri tapi
darahnya belum bisa hilang, tentang antusiasmenya waktu dokter bilang besok
sudah boleh pulang. Aku senang banget Mas Yanto jadi semangat kayak gitu, aku
rasa sudah berapa tahun Mas Yanto gag seceria itu. Harusnya aku tahu kalau itu
adalah sebuah tanda. Sabtu sore aku pulang dari Jogja, Mas Yanto melambaikan
tangannya di depan pintu. Lambaian tangan yang sama seperti lambaian tangan
setiap aku akan pulang ke Surabaya. Aku meneteskan air mataku, aku benar-benar
berharap ada cahaya harapan yang menanti Mas Yanto.
Cahaya itu akhirnya muncul, 2 hari setelah ulang tahunku
yang ke 21, 9 Desember 2012. Cahaya itu menghentikan rasa sakitnya untuk
selamanya. Cahaya itu menjadi akhir dari perjalanan yang penuh dengan rasa
sakit. Allah S.W.T. menjemput Mas Yanto setelah adzan Isya berkumandang. Mas
Yanto meninggalkan dunia ini sendirian, tidak ada kami disisinya, sendirian di
kamar Rumah Sakit. Apa yang Mas Yanto pikirkan waktu itu? Apa Mas Yanto ingat
kami? Kenapa harus sendirian? Maaf Mas Yanto, aku gag bisa nemenin Mas Yanto.
Kaluarga kami disini malah ngadain acara ulang tahunku. SMS terakhir dari Mas
Yanto yang aku terima tepat di hari ulang tahunku, tentang keluhanmu akan rasa
sakit di sekujur tubuhmu, maaf aku Cuma bisa menjawab sabar dan berdoa. Kenapa
harus sendirian. Kenapa gag waktu ada kami disana. Kenapa Mas Yanto selalu
menunjukkan kalau keadaan Mas Yanto baikan tiap kami datang. Mas Yanto pernah
minta Mas Igol yang nemenin waktu Mas Yanto sakit, tapi gag bisa soalnya Mas Igol
harus kerja. Seandainya kami tahu...
Mas Yanto, banyak... banyak... banyak banget kenangan dan
pelajaran yang Mas Yanto kasih untukku. Banyak banget kenangan indah yang Mas
Yanto kasih ke aku. Dimarahi, diajari, guyon sama-sama, ngajarin nyetir mobil...
Mas Yanto udah kayak Mas kandungku sendiri... Mas Yanto udah jadi bagian
keluarga untukku... Kalau bayangin gag bisa ketemu lagi, air mata ini gag
pernah mau berhenti mengalir... Mas Yanto lagi apa sekarang? Mas Yanto maukan
maafin kami karena gag bisa nemenin di saat terakhir Mas Yanto... Apa Mas Yanto
udah enakan sekarang... Rasa sakit di seluruh badan Mas Yanto udah hilangkan?
Mas Yanto udah tenang kan? Doaku selalu ada disamping Mas Yanto.
Ya Allaaaaah.... jika engkau memang memberikan rasa sakit dihidupnya,
berikanlah kebahagiaan di sisi-Mu sekarang...
Engkaulah yang Maha Tahu akan seberapa besar rasa cinta kami ke Mas
Yanto, juga seberapa besar rasa cinta Mas Yanto pada kami... Cukupkanlah hal
tersebut sebagai syarat agar Mas Yanto bisa tenang di sisi-Mu yaa Allaaah...
Terima kasih telah menghentikan rasa sakit pada Mas Yanto, Mas Yanto telah
berpulang ke rumah-Mu yang begitu indah... Hamba mohon ya Allaaaaah...
tempatkanlah Mas Yanto di tempatyang paling nyaman dan bahagia di sisi-Mu... hamba
mohoooon ya Allaaaaah... Amiin..