Tuesday, November 6, 2012

CAPPUCINO


                Perempuan itu memesan secangkir Cappucino favoritnya, memandang lurus bangku yang biasa dia duduki dan mendapati bangku itu masih kosong. Dia tersenyum. Matanya berani penuh ambisi akan masa depan, menahan muntahan kata – kata bahagia tentang jenjang karirnya yang ingin dia ceritakan pada pria yang akan dia temui sebentar lagi.
                Sambil menyeruput Cappucino yang masih hangat, dia memasang headphone di telinganya. Sheila on 7 – Anugrah Terindah Yang Pernah Kumiliki. Lagu yang cukup lama memang, tapi tetap favorit baginya. Sama seperti Cappucino yang tidak bisa digantikan dengan kopi – kopi lain. Seperti seorang pria yang tidak bisa diimbangi dengan seluruh pria di muka bumi.
                 Sembari mendengar lagu itu, lamunannya berlari ke lima tahun yang lalu, saat pertama kali bertemu pria itu. Seorang pria dengan tampangnya yang biasa, tapi memiliki senyum renyah yang seperti magnet baginya. Kedekatan mereka berdua diawali dengan mengambil buku yang sama di sebuah toko buku. Dia kembali menyesap Cappucino hangatnya, lalu tersenyum, tak habis pikir dengan takdir konyol yang mempertemukan mereka.
                Masih menunggu pria itu, dia kembali berjalan cepat ke empat tahun yang lalu. Saat pria itu dengan gugupnya meminta seluruh hatinya. Dia selalu menikmati kegugupan pria itu saat tangan mereka tidak sengaja bersentuhan, dia selalu menikmati tatapan yang dipenuhi oleh cinta dari pria itu, dan dia sangat menikmati wajah pria itu saat kata cinta terucap dari mulutnya. Saat pria itu berkata tentangnya, tentang debarannya, tentang cintanya. Walau dadanya penuh, dengan sekuat tenaga dia berkata “Iya” dengan ringan sambil menyeruput Cappucino pesannya. Belaian pertama yang dia terima tidak pernah dia lupakan. “Terima kasih” kata pria itu. Cappucino manis itu menjadi saksi bisu menyatunya hati mereka. Sejak saat itu, dia sangat menyukai Cappucino.
                Air matanya tidak sempat menetes karena langsung dia usap dengan tisu yang sudah disediakan di meja. Hatinya penuh dengan kenangan indah dengannya. Tapi pria yang dia tunggu belum juga datang, kebiasaan lama, selalu terlambat. Cappucinonya tinggal setengah, dengan menyesapnya perlahan dia menatap jam. Pria itu selalu terlambat, dan dia selalu menikmati saat melihat wajah pria itu yang tergopoh – gopoh berlari menuju mejanya. Dengan senyum renyahnya yang seperti biasa dan kedua telapak tangan yang ditangkupkan.
                “Maaaf, jalanan macet…”
                “Cappucinoku sudah mau habis…”
                “Maaf… Maaaf banget… aku pesankan Cappucino lagi..”
                Melihat pria itu berlari menuju kasir untuk memesan Cappucino bukan hal yang baru untuknya, tapi setiap langkah pria itu yang membawa secangkir Cappucino untuknya selalu membuat dadanya penuh. Menghapuskan ambisinya tentang jengjang karir dan segala tetek bengek materi hidup.
                “Jadi, kamu mau cerita tentang apa?”, pria itu memamerkan senyum renyahnya lagi.
                “Tidak… tidak ada… “
                Lagi – lagi pria itu tersenyum, tak lama membelai lembut rambut perempuan yang dadanya sudah dipenuhi oleh cinta di depannya. Mereka hanya saling menatap, ada komunikasi dalam tatapan mereka. Mereka menyadari bahwa masing – masing dari mereka adalah sebuah anugrah terindah yang diberikan Tuhan. Rasa syukur di benak pria itu  hampir saja membuatnya lupa tentang Cincin yang menjadi penyebabnya terlambat tadi.
                “Hei, aku yang mau bicara….”, kata pria itu, mulai gugup.