Wednesday, October 12, 2016

Eksistensiku Dalam Eksistensialisme

Apakah kau telah utuh. hidup secara ontentik sebagai dirimu eksistensimu sendiri. Ataukah kau hanyalah dirimu makhluk objektif yang hidup dengan memuja berhala saintisme dogmatik dan agama religi.

"Agama adalah filsafat dengan subjektifitas yang keterlaluan"


  • Kosong adalah isi, dan isi adalah kosong
Manusia lahir sebagai satu kekosongan yang baik dan subjektif. Sampai filsafat yang korup dan institus-institusi yang tidak adil mengubah kehendaknya. Dan pada saat manusia merindukan kembali eksistensinya, sebuah subjektifitas agung yang mengantarkan manusia pada sebuah rahasia yang intim. Manusia akan setengah mati mencari jalan kembali pada kekosongan dan tidak akan mendapatkan apapun kecuali pengetahuan otentik bahwa ia ada. Karena kosong adalah isi dan isi adalah kosong.

  • Dengan sebahagianya aku saat ini, kesedihan seperti apa yang akan menghantamku nanti? Bukankah itu sangat mengerikan?
Dalam eksistensialisme, eksistensi mendahului esensi. Aku masih belum paham akan logika pemikiran ini. Karena untukku manusia berasal dari sebuah sistem pemikiran atau dalam paham Theisme dipermudah dengan sebutan roh/ruh. Sedang fisik hanya berfungsi hanya berfungsi sebagai artefak. Entah itu artefak manusia, kupu-kupu, rumput, bunga, babi, ataupun bakteri. Cogito Ergo Sum, I think therefore I'am, aku berfikir maka aku ada.

Puisi Jaman SMA "Dan Bebaskanlah Kami Dari Yang Jahat"

Jaman SMA dulu sering banget bikin puisi. Karena dulu aku tipe melankoli yang sukanya tenggelam dalam kesedihan, jadi walaaaa... kreatifitasku lari ke puisi. Ini salah satu yag bisa aku selamatkan, salah duanya ga tahu hilan entah kemana, salah tiganya kata-kata yang dipake bener-bener malu-maluin, jadi aku ga sanggup posting ulang.

Judul : Dan Bebaskanlah Kami Dari Yang Jahat

Ingin bersembunyi, ingin bersembunyi
Memandang sajak-sajak lampau yang mengalir
Masa lalu yang lengkap dalam kubur mengerang
Menjauhi, membunuh detik-detiknya yang hilang

"Adakah Tuhan dalam hatimu?"

Seperti sebatang lilin, retak, menitik sia-sia
Batang-batang kaki lumpuh
Menggeret daging tersayat dosa entah kemana

"Kita ini apa? Kita hidup dimana?"

Menapaki jalan yang masih licin
Pagar baja, pintu besi
Kabel telepon menjerat kata

"Kita bisa bercakap! Kita ini apa?"

Dan menjerit, dan memekik
Menghapus gunung dan menyumbat laut
Melupakan liang beringan laut

"Bebaskanlah kami dari lapar dan dahaga
Bebaskanlah kami dari sakit dan derita
Dan, bebaskanlah kami dari yang jahat
Amien..."

Di sudut tangga, 2009

Not even finish yet, but too lazy to continuing

Aku jatuh cinta. Aku jatuh cinta pada dia yang sangat mengagumiku. Aku jatuh cinta padanya yang menganggapku istimewa, pada dia yg memujaku bagai dewa. Kutanya : mengapa kau begitu menyukaiku?

"Apa kau gila?", katanya sambil menyentuh tanganku. Mengusap jemariku perlahan dan hati-hati. Seolah yang sedang digenggamnya bukanlan ibu jari, telunjuk, jari tengah, jari manis dan kelingking, melainkan berlian murni yang baru ditambang.

"Tangan ini teman, tanganmu ini adalah tangan Tuhan. Di setiap jarimu disematkan satu malaikan penjaga. Mereka menjaga jemari agar tidak tergores, tidak keseleo, menjagamu agar terus bisa memegang pensil dan alat lukis itu dengan baik. Dan kau bisa menciptakan gambar-gambar terindah. Kau menciptakan lukisan dari tangan Tuhan, teman."

Sunday, October 9, 2016

Keping Hidup #2 "Oh! Come On!!"

Pernah mendengar frasa diatas langit masih ada langit? Hari ini aku baru menegaskan frasa baru untuknya. Bahwa dibawah tanah masih ada tanah. tanah yang lebih pekat, apak, sesak dan gelap.

Apa kamu tahu kalau kenangan terus berputar di atas kepalamu, kamu akan mengalami pusing hebat sampai matamu berair? Aku merasakannya sekarang. Detik ini. Ah, detik ini terasa begitu lama. Waktu memang tidak dapat maju atau mundur. Tapi dia seperti pir tempat duduk yang bisa melar memanjang dan ciut memendek. Sangat menyakitkan jika ada bongkahan ingatan bersarang diatas kepalamu saat waktu sedang ditarik sepanjang jalan tol. Seakan kamu ingin menyelami ingatan itu tapi waktu membatasimu. Dan hal itu terjadi berulang kali.

Aku mencoba menelusuri ingatan waktuku. Saat seperti ini pernah kurasakan dulu. Walau dalam lingkaran yang berbeda. Seperti berdiri mengambang diatas laut. Sendirian. Menoleh kemanapun lautan itu tak berujung. Aah, itulah nona waktu, seakan berjalan lurus, padahal hanya berputar-putar saja. Dan saat kenangan mulai mebanjiri, sang melankolis mengambil satu per satu cahaya dari tubuh. Sehingga yang tersisa hanyalah gelap. Dalam gelap kenangan berjalan cepat, tidak sempat kusesap. Terus berjalan melewatiku seperti permisi ke toilet.

Lalu apa guna perjalanan waktuku selama ini. Apakah aku hanya berjalan diatas treadmill elektrik, selelah-lelahnya hanya akan membakar kalori namun diam di tempat tanpa bergerak kemanapun. Lho, bukannya aku sudah bisa membuka mata? Tidak hanya membuka mata, bukankah aku sudah bisa mengerjap dan melihat dari sudut-sudut pandang lain? Mengapa aku harus mencari ujung lautan? Mengapa aku tidak melihat keatas lalu terbang bersama merpati dan gagak? Atau aku juga bisa melihat kebawah dan menyelam bersama ikan biru dan oranye yang mencari anaknya. Bukankah petualangan hidupku begitu melimpah?

Ada sedikit nyeri dihati saat kutengok lagi ingatan itu, tapi tidak sampai mengenyahkan suka. Setidaknya aku masih beruntung karena aku ada dan mengalaminya. Tidakkah itu hebat? Berjalan beriringan dengan nona waktu dan menantang dunia.

9-18 Januari 2015
女子寮 room no. 103

09.55 PM

(Tanpa salam hangat, hanya ada salam dingin dari anak rantau yang merasa sayang untuk menyalakan penghangat ruangan walau musim dingin karena hemat listrik)

Keping Hidup #1

Tulisan ini saya tulis 4 Januari 2015 lalu, saat saya berada di dalam pesawat. Saat itu saya sedang terbang menuju negara impian saya Jepang, dimana saya akan belajar bahasa dan melanjutkan studi gelar master. Tetapi dibalik perjalanan untuk mencapai mimpi, selalu ada perpisahan yang menyakitkan. Saat itu saya membiarkan diri saya tenggelam dalam kerinduan untuk sesaat, dan mempersilahkan otak dan tangan saya untuk mengukir pikiran.

Aku teringat saat kukatakan hal itu pada seorang kawan dekatku.

"Aku menantikannya dalam ketakutan. Saat ini aku merasakan terlalu banyak kebahagiaan. Ah, ini kebahagiaan yang menakutkan. Saat tawaku berlimpah ruah bahkan sampai ada tawa-tawa yang tak kusadari tersungging di bibirku ini, aku telah menyadari kejanggalan itu. Bukankah itu berarti ada pula tangis yang sedang membayangiku. Aku selalu menganggap hidup ini seperti yin yang. Jadi dengan sebahagianya aku saat ini, kesedihan seperti apa yang akan menghantamku nanti. Tidakkah itu mengerikan?"

Dan sekarang aku tahu. Hantaman pertamaku diberikan dengan bijak dan lugas oleh sebongkah baja besi bersayap yang terbang dengan kecepatan 970km / jam. Menarikku perlahan tetapi pasti dari kebahagiaan yang terang menderang. Meruntuhkan satu per satu pijakan nyamanku. Cukup menyakitkan untuk ukuran mentalku yang sekarang.

Aku tahu, walaupun jika dilihat dari sudut pandang lain orang - orang pasti berkata kesedihanku itu berstandard ganda. Banyak yang memimpikan apa yang kujalani sekarang. Tapi biarlah orang berkata apa, berikan aku kebebasan untuk menikmati segala melankoli hatiku ini sekarang. Biarkan air mataku mengucur semaunya. Bukankah itu memang cara teraman untuk menjalani hidup? Dengan menikmati segala kebahagiaan berikut kesedihannya. Tentu saja tanpa menghilangkan sujud dan kasih pada Sang Pencipta permainan ini. Ah, aku mencintaimu Tuhan. Aku mencintaimu dengan segala kebahagiaan dan kesedihan yang Kau limpahkan padaku.

Selamat malam dari atas awan. Langit di jendela sudah menghitam. Suhu diluar minus 40 derajat. Oyasuminasai.

04012015
Garuda Indonesia 
Flight No. GA 874
19.27 (Entah waktu bumi bagian mana)